Film seram Jepang kental dengan nuansa supernatural nan tetap satu gelombang dengan cita rasa seram Indonesia. Hal tersebut membikin kita bisa menikmati movie seram dari negara tersebut dibandingkan dengan seram supernatural buatan Hollywood.
Dunia seram Jepang telah menjadi semesta nan penuh kekayaan karun bagi fans setia aliran ini. Mulai dari naskah seram original, hingga nan diadaptasi dari mitos dan folklore nan secara ajaib tetap relevan di peradaban Jepang modern.
Dari banyaknya movie seram Jepang nan telah ada, Cultura telah mengkurasi beberapa nan terbaik dan ikonik. Berikut sederet rekomendasi movie seram Jepang klasik terbaik dari era 60an hingga 2000an nan patut ditonton oleh fans horor.
House (1977)
Kisah di kembali movie “House” (Hausu) sama anehnya dengan konsep dari filmnya sendiri. Terinpirasi oleh movie “Jaws” (1975), Studio Toho mau Nobuhiko Obayashi membikin movie nan serupa dengan summer blockbuster tersebut.
Obayashi kemudian bertanya pada putrinya nan tetap muda, Chigumi, tentang apa nan membuatnya takut. Dari situ dia menemukan ide-ide absurd, liar, dan imajinatif. Jadi semakin masuk logika kenapa “House” mempunyai presentasi demikian dengan mengetahui latar belakanganya.
“House” meupakan movie seram Jepang nan penuh warna dengan premis enam gadis sekolah nan pergi mengunjungi tante salah satu dari mereka. Namun, mereka akhirnya dibunuh satu per satu oleh rumah jahat sang bibi. Meski ada media dan kritikus movie nan tidak menyukai movie ini. “House” nan eksentrik telah menjadi salah satu cult classic dengan fans lokal apalagi internasional.
Kwaidan (1965)
“Kwaidan” diambil dari istilah ‘kaidan’ dalam bahasa Jepang nan berfaedah ‘kisah hantu’. “Kwaidan” bukan movie seram nan diciptakan sebagai tontonan nan mengerikan. Karena ternyata, sutradara Masaki Kobayashi tampkanya tidak bermaksud membikin movie ini sebagai movie seram sejak awal. Namun, movie nan terangkai dari empat cerita terinspirasi oleh jenis Lafcadio Hearn ini mempunyai peran krusial dalam sub-genre Edo Gothic. Dimana memancarkan cita rasa horor.
Pada 1965, “Kwaidan” meraih penghargaan Jury Prize di Cannes Film Festival dan masuk nominasi Best Foreign Language di Oscar. Film ini memang mendapatkan ulasan positif apalagi dari penikmat movie di barat, menyebut movie ini menampilkan keelokan seperti dari bumi mimpi.
Ringu (1998)
Meskipun “Ringu” tak diragukan lagi merupakan movie seram Jepang paling terkenal di skena internasional, akibat nan ditimbulkan dari kesuksesan movie ini lebih besar bagi industri movie seram negara asalnya.
Diadaptasi dari novel karya Koji Suzuki, movie in dengan sigap meraih ketenaran besar di Jepang saat pertama kali dirilis. Hingga akhirnya tembus ke kancah internasional. Fenomena ini memicu kelahiran beberapa sekuel, hingga penyesuaian Hollywood dan Korea, serta membangkitkan kembali perfilman seram di Jepang menuju era modern.
“Ringu” menyelami budaya modern nan berkembang di Jepang, dimana para wanita merangkul kebebasan baru dari norma-norma kelamin tradisional dan disonansi nan terjadi dengan budaya istiadat Jepang.
Audition (1999)
Pada masa produksi, sutradara Takashi Miike tidak dikenal sebagai filmmaker horor. Namun, sejak “Audition” sutradara ini mulai memeluk aliran seram dengan presentasi nan sadis dan penuh kekerasan seperti “Ichi the Killer” dan “Gozu”. “Audition” terkenal sebagai movie seram gore di kancah Hollywood, menjadi bibit inspirasi untuk movie seperti “Saw” dan “Hostel” nan murni mengekspos konten kekerasan dan siksaan imajinatif tak terbayangkan.
Padahal movie seram Jepang nan sadis ini mengandung seram psikologi, terhubung dengan rumor pelecehan dan perlakuan tak layak nan diterima oleh anak serta wanita di masyarakat. “Audition” lebih dari sekedar torture horror, ada kedalaman topik nan menjadi jantung dalam naskahnya.
Ju-On: The Grudge (2002)
“Ju-on: The Grudge” merupakan movie seram Jepang terkenal setelah “Ringu”. Film nan disutradarai oleh Takashi Shimizu terdiri dari tiga seri nan sukses di bioskop lokal. Hingga terkenal di skena internasional, memancing Hollywood untuk membikin remake nan sekarang telah dikembangkan menjadi franchise (lepas dari kualits nan tidak bisa dibilang sukses).
Seri terbaru dari titel ini dari Jepang adalah “Ju-On: Origins” nan bisa ditonton di Netflix. Kalau serial ini kembali menghadirkan kualitas seram nan membikin resah dan mengganggu seperti titel originalnya.
‘Ju-On’ inti cerita selalu sama, ialah tentang properti nan disinggahi oleh onryo, namalain hantu wanita penuh dendam. Kutukan nan berdomisili di kediaman tersebut selalu sukses menghancurkan keadaan mental penunggu barunya, kemudian mempengaruhi keberlangsungan hidup nan sial.
Pulse (2001)
Sutradara Kiyoshi Kurosawa telah menciptakan beragam movie seram Jepang terbaik, begitu pula dalam aliran psychological thriller. Konsep dari “Pulse” mungkin terdengar absurd dengan sentuhan modernnya, ialah tentang hantu-hantu nan mencoba menembus bumi orang hidup melalui internet. Namun memang sudah kemampuan
Kurosawa dalam mengeksekusi pengalaman seram nan menyeramkan serta membikin penonton gelisah. Kesuksesan movie ini lagi-lagi memicu Hollywood untuk membikin jenis remake-nya dengan Wes Craven, nan kemudian mempunyai dua sekuel.
Suicide Club (2001)
“Suicide Club” merupakan karya kontroversial dari sutradara Sion Sono. Film ini mengikuti penyelidikan polisi terhadap serangkaian bunuh diri nan tampaknya tidak berasosiasi melanda Jepang. “Suicide Club” mempunyai narasi dengan ketidakpastian, apalagi sebagai corak satir, mendorong penonton untuk mengusulkan pertanyaan tanpa mendapatkan banyak jawaban dari kisah nan mereka saksikan.
“Suicide Club” awalnya direncanakan Sono sebagai movie trilogi. Namun nan terwujud hanya “Dinner Table” nan sukses dirilis. Sono kemudian menulis novel “Suicide Circle: The Complete Edition” untuk menjawab plot nan tidak bisa diteruskan dalam medium filmnya.
Dark Water (2002)
Hideo Nakata kembali mengangkat kisah dari novel Koji Suzuki setelah “Ringu”, “Dark Water”. Mengkisahkan seorang ibu tunggal dan putrinya nan pindah ke apartemen dengan keadaan tidak baik salah satu langit-langit bocor nan meninggalkan corak hitam tak sedap dipandang. Ketika mengira perihal tersebut hanya masalah kediaman biasa, dia mulai mengalami kejadian tidak biasa hingga kemunculan sosok gadis misterius.
Seperti “Ringu”, movie seram Jepang ini kembali mengangkat masalah nan kerap dihadapi wanita modern. “Dark Water” juga mendapatkan jenis remake Hollywood-nya setelah kembali sukses di skena movie internasional.
One Missed Call (2003)
“One Missed Call” merupakan movie seram Jepang dengan tema urban legend dari sutradara Takashi Miike. Konsepnya sederhana, ialah kematian misterius nan terjadi setelah korban menerima panggilan tak dikenal dengan ringtone-nya nan ikonik. Jika korban mengangkat telepon, bakal terdengar bunyi nan memprediksi kematian mereka.
Berkutat di sekelompok remaja dengan era penggunaan ponsel nan baru marak pada masanya, “One Missed Call” kurang lebih serupa dengan tema teen scream di Hollywood. Film ini juga mendapatkan jenis remake Hollywood dengan konsep dan titel nan sama.
Noroi: The Curse (2005)
Ketika aliran footage horror mulai mengalami kebangkitan di Hollywood, “Noroi: The Curse” mengikuti trend dengan eksekusi nan sukses juga dalam mengadaptasi konsep seram modern ini. ‘Noroi’ dikemas sebagai movie dokumenter mengikuti investigasi paranormal. Visual kasar berkulitas rendah menjadi eksekusi sinematografi nan memang esensial untuk eksekusi found-footage horror pada masanya.
‘Noroi’ menjadi movie seram terbaik dari sutradara Koji Shiraishi. Tak hanya diakui oleh penikmat movie Jepang, movie ini juga mempunyai pamor nan tinggi hingga saat ini di skena fans movie seram Jepang internasional.