10 Film yang Berikan Pengalaman Berbeda Ketika Ditonton Lebih dari Sekali

Sedang Trending 3 minggu yang lalu

Banyak movie nan baru bisa kita pahami setelah ditonton dua kali alias lebih. Terutama dalam katalog movie sutradara nan terkenal dengan naskah nan mind-bending, menantang penonton untuk berpikir lebih, seperti Christopher Nolan hingga David Lynch. Namun, movie seperti “Inception”, “Interstellar”, ‘Twin Peaks’, adalah movie nan beberapa dari kita menonton dua kali lantaran belum mengerti saat pertama kali menonton.

Dalam daftar movie berikut adalah sederet movie nan memberikan pengalaman berbeda setelah ditonton lebih dari dua kali. Baik dalam memahami, menemukan perspektif baru, hingga menyadari hubungan setiap segmen nan tidak di-point out oleh sutradara secara gamblang.

Lebih dari sekadar pemahaman, movie berikut memberikan pengalaman dan perspektif pandang baru setelah ditonton lebih dari sekali.

(Spoiler Alert! untuk semua movie nan dibahas dalam daftar ini)

Ex Machina (2014)

“Ex Machina” merupakan movie sci-fi thriller tentang Caleb (Domhanall Gleeson) nan mendapatkan kesempatan menjadi bagian dari penelitian nan dilakukan oleh bosnya. Dimana Nathan (Oscar Isaac) sedang mengembangkan A.I. mutakhir nan diberi nama Ava (Alicia Vikander). Film pengarahan Alex Garland ini memang lebih konsentrasi pada perspektif pandang Caleb nan menyakini bahwa dia sedang menjalankan turing test pada Ava.

Hanya untuk kemudian mengetahui bahwa dirinya juga menjadi subyek dalam turing test, lantaran Nathan mau memandang sejauh mana Ava bisa mempengaruhi Caleb secara emosional. Secara tidak langsung juga dimaksudkan untuk penonton juga terpengaruh oleh Ava dan memandang Nathan sebagai ‘penjahat’ dalam skenario ini. Namun, coba nonton untuk kedua kalinya, kita bakal memandang skenario dari perspektif pandang Nathan sebagai pembuat Ava. Pemahaman kita tentang Ava bakal berubah dan menganggap Caleb sebagai subyek asal-asalan nan menjadi akhir dari project Nathan.

Gone Girl (2014)

“Gone Girl” membuka narasi dari perspektif pandang Nicholas (Ben Affleck) nan melaporkan istrinya nan menghilang secara misterius, Amy Dunne (Rosamund Pike). Pada babak pertama, perspektif pandang lebih konsentrasi pada Nicholas nan seiring berjalanannya skenario merasa telah dipermainkan oleh istrinya, sebagai jawaban lantaran dia berselingkuh dengan wanita nan lebih muda.

Mungkin ada nan pertama kali menonton memandang Amy Dunne sebagai ‘penjahat’ dalam skenario ini. Persepsi tersebut bakal berubah pada kali kedua menonton. Kita bakal mulai memahami, mungkin memang tukang selingkuh seperti Nicholas layak mendapatkan pelajaran ekstrim dari Amy Dunne nan lebih dari apapun mau mempertahankan pernikahan mereka.

Shutter Island (2010)

“Shutter Island” merupakan movie neo-noir pengarahan Martin Scorsese, dibintangi oleh Leonardo DiCaprio sebagai Teddy Daniels. Teddy berbareng rekan kerja barunya, Chuck (Mark Ruffalo) mendapatakan misi untuk menginvestigasi hilangnya pasien rawan di lembaga mental nan berlokasi di pulau terpencil.

Fakta umum dalam movie ini mungkin sudah terungkap; bahwa Teddy Daniels adalah Andrew Laeddis. Ia mengalami trauma mendalam setelah istrinya membunuh ketiga anaknya mereka, kemudian Andrew membunuh istrinya.

Setidaknya plot “Shutter Island” bukan plot nan membingungkan. Semuanya telah dijelaskan oleh Dr. John Cawley (Ben Kingsley) pada babak terakhir, ditambah dengan flashback dari Andrew. Kita punya pilihan untuk percaya pada Dr. John Cawley, alias mengikuti ilusi nan disajikan dari perspektif pandang Teddy namalain Andrew. Film ini bakal memberikan pemahaman nan semakin solid dan selalu menarik untuk ditonton ulang.

Tenet (2020)

Banyak dari movie Christopher Nolan memerlukan lebih dari sekali tonton untuk dipahami. Namun “Tenet” merupakan movie nan ‘harus’ ditonton dua kali untuk pengalaman nan solid. “Tenet” merupakan movie Nolan nan paling susah untuk dimengerti saat ini, dari seluruh filmografi sutradara ini.

Untuk memahami ceritanya, kita terlebih dulu kudu memahami konsep dari ‘time-inversion’. Ibarat mata pelajaran dari Nolan, mempelajari time-inversion memerlukan bedah materi secara perlahan. Dimana sebaliknya semuanya dalam movie ini melangkah begitu cepat.

Alasan kedua kita kudu menonton ulang “Tenet” mungkin bukan nan bakal direstui oleh Nolan. Banyak komplain perbincangan dalam movie ini tidak bisa didengar lantaran musik dan pengaruh bunyi nan lebih mendominasi. Oleh lantaran itu, cari kesempatan untuk menonton “Tenet” di rumah dengan laptop dan earbuds, serta subtitle. Dengan begitu kita bisa lebih jelas memahami perbincangan dalam movie ini.

The Sixth Sense (1999)

Sebelum “The Others” (2001), “The Sixth Sense” oleh M. Night Shyamalan menjadi movie seram ilmu jiwa sukses dengan twist protagonisnya sebagai hantu sepanjang film. Dibintangi oleh Bruce Willis sebagai Malcolm Crowe, seorang psikolog anak nan berjumpa dengan Cole (Haley Joel Osment).

Cole mengaku dapat memandang arwah dari orang nan telah meninggal. Awalnya Crowe berpikir bahwa dia datang untuk membantu Cole, namun faktanya, Cole ‘lah nan membantu Crowe untuk rekonsiliasi dengan istrinya.

“The Sixth Sense” merupakan movie Shyamalan dengan penulisan naskah penuh twist dan hint nan berbobot sebagai karya seram psikologis. Salah satunya adalah perbincangan foreshadowing antara Crowe dan Cole pada babak pertama. Cole menyebut bahwa arwah orang meninggal membaur dengan orang-orang hidup. Arwah-arwah ini hanya memandang apa nan mau mereka lihat.

Pertama kali menonton movie ini, kita bakal memandang perspektif pandang Crowe sebagai orang hidup, sementara kali kedua sebagai arwah. Dimana membuka perspektif baru nan belum kita alami sebelumnya.

Pulp Fiction (1994)

“Pulp Fiction” menjadi cult classic untuk argumen nan solid. Selain lantaran estetika bumi pidana ala Quentin Tarantino nan stylish, movie ini menjadi salah satu nan tidak pernah bikin jenuh untuk ditonton lebih dari sekali.

‘Pulp fiction’ sendiri adalah sebuah istilah untuk majalah pidana pada pertengahan abad ke-20. Itu kenapa poster original movie ini terlihat seperti majalah dengan Uma Thurman namalain Mia Wallace sebagai model cover.

Layaknya referensi seru dengan plot nan acak, anggap potongan cerita dalam “Pulp Fiction” adalah kolom buletin pidana nan terjadi di sekitar Los Angeles, pada periode waktu nan saling berdekatan. Selalu menarik bermain detektif dengan menyatuhkan segmen satu dengan lainnya. Melihat akibat dari setiap keputusan nan diambil oleh karakternya. “Pulp Fiction” juga bisa kita ibaratkan sebagai puzzle, dimana kita berupaya menyusun sendiri urutan plot nan benar.

Eternal Sunshine of the Spotless Mind (2004)

‘Eternal Sunshine’ mempunyai kualitas plot nan kurang lebih serupa dengan “Pulp Fiction”. Dimana kita disajikan potongan-potongan memori acak, seperti sifat alami dari memori alias kenangan nan random dalam pikiran kita sendiri.

Mengikuti perjalanan cinta unik dari Clementine (Kate Winslet) dan Joel (Jim Carrey). Plot utama setidaknya sudah terungkap pada kali pertama menonton; Joel dan Clementine pergi ke klinik spesial untuk menghapus ingatan mereka satu sama lain pasca berakhirnya hubungan dengan buruk.

Kedua kali menonton, kita bakal berupaya menyusun potongan puzzle memori hubungan cinta antara Joel dan Clementine. Mulai dari awal pertama pertemuan, masa-masa bagus dan susah dalam hubungan mereka, hingga akhirnya pertemuan kembali. Film ini merupakan puisi romansa fiksi ilmiah unik nan tak pernah membosankan untuk “dibaca” kembali.

500 Days of Summer (2009)

Meski bukan paling mind-bending dalam daftar ini, “500 Days of Summer” bisa jadi tontonan nan memberikan pengalaman berbeda setelah ditonton lebih dari sekali. Seperti film-film serupa, masalah utama dari movie seperti ini adalah ‘persepektif’.

Kisah asmara antara Tom (Joseph Gordon-Levitt) dan Summer (Zooey Deschanel) ini disajikan melalui perspektif pandang Tom. Sedikit kita sadari pada kali pertama menonton, Tom adalah narator nan tidak bisa diandalkan.

Masih banyak nan beranggapan Summer adalah wanita nan telah mempermainkan dan menghancurkan hati Tom. Bahkan sang aktor, Gordon-Levitt menyarankan kita untuk menonton kembali movie ini untuk menyadari bahwa Tom nan salah lantaran telah memproyeksi ekspektasi romantis dalam hubungannya dengan Summer nan tidak menunjukan kesukaan untuk memulai hubungan.

Jojo Rabbit (2019)

Memang tidak bakal menjadi pengalaman nan bagus (bahkan mematahkan hati) untuk menonton “Jojo Rabbit” lebih dari sekali. Namun menonton movie berlatar perang dari kacamata bocah Nazi nan imajinatif karya Taika Waititi ini bakal membikin kita sadar kualitas penokohan setiap karakter dan penulisan naskah secara keseluruhan nan lebih baik dari nan kita duga sebelumnya.

Banyak nan bicara tentang foreshadowing kematian ibu Jojo. Namun ada lebih banyak lagi adegan-adegan nan luput dari perhatian kita menjadi indikasi lebih dari sutau peristiwa. Salah satunya adalah ketika Kapten Klenzendorf mendatangi rumah Jojo berbarengan dengan sekelompok pemasok Gestapo. Menjadi segmen paling kocak dalam movie ini, tersembunyi kebenaran paling mematahkan hati; lantaran pada saat itu ibu Jojo sudah meninggal dan Klenzendorf mendatangi rumah Jojo untuk melindunginya.

Blade Runner 2049 (2017)

“Blade Runner 2049” adalah movie neo-noir dengan latar futuristik paling underrated (karena performanya di box office) dan layak mendapatkan kesempatan kedua. Secara keseluruhan, plot movie ini sudah jelas; K (Ryan Gosling) berpikir bahwa dia mungkin bukan replicant biasa, melainkan anak nan dilahirkan dari hubungan Rick Deckard (Harrison Ford) dan Rachael.

Ketika kita pikir kita telah mengetahui plot twist-nya, K dan penonton dikecewakan dengan twist sesungguhnya bahwa itu hanya kenangan dari anak Deckard nan sesungguhnya, di-install kebanyak memori para replicant baru.

Ini juga bisa menjadi pengalaman kedua nan semakin mematahkan hati. Mungkin beberapa dari kita bisa relevan dengan K, nan merasa tidak mempunyai ‘peran’ alias tujuan dalam hidup, berpikir kita akhirnya menemukan ‘arti’ dalam hidup kita, hanya untuk kemudian memahami, bahwa semua tidak ada artinya lagi. Pengalaman pertama menjadi perspektif pandang nan penuh dengan angan untuk protagonis. Sementara kali kedua menonton menjadi tribute untuk K nan tetap mempunyai cerita memikat sekalipun dia bukan ‘siapa-siapa’.