Bila para penonton saat ini tetap beranggapan bahwa movie nan bagus selalu identik dengan setting letak dan visual effect megah, mungkin “12 Angry Men” (1957) dapat mengubah persepsi para penonton perihal dugaan tersebut.
“12 Angry Men” merupakan movie klasik nan disutradarai oleh Sidney Lumet. Film ini termasuk salah satu movie nan mendobrak kancah sinema bumi sejak pertama perilisannya pada tahun 1957. Bagaimana tidak, setting letak movie ini hanya diambil di satu ruangan sempit, tanpa visual effect apapun, dengan hanya berfokus pada 12 karakter utama.
Dengan format movie hitam putih, ditambah lagi topik nan diangkat tentang ketidakadilan terhadap penduduk non-kulit putih nan memang lumrah terjadi di AS pada masa itu, menjadikan “12 Angry Men” sebagai suatu mahakarya nan fenomenal.
Ketika Nasib Satu Orang Berada di Tangan Dua Belas Juri
“12 Angry Men” bercerita tentang 12 orang nan berkedudukan sebagai juri di pengadilan AS untuk kasus pembunuhan tunggal. Sang terdakwa merupakan seorang anak mini nan diadili lantaran dituduh telah membunuh ayahnya sendiri.
Sebelum pengambilan keputusan persidangan, Sang pengadil memberikan kesempatan 12 orang juri untuk berkompromi di satu ruangan mini menentukan nasib sang terdakwa.
Saat para juri berkumpul di suatu ruang khusus, masing-masing juri tanpa ragu menyatakan bahwa sang terdakwa memang bersalah dan layak dijatuhi balasan mati. Namun ada satu juri, nan dikenal sebagai juri no.8 (Henry Fonda), nan meyakini bahwa terdakwa justru tidak bersalah.
Dari sinilah obrolan berujung perdebatan antara para juri dimulai. Juri no.8 tetap gigih dengan argumennya melawan 11 orang juri lainnya. Sepanjang lama 1 jam 35 menit, kita bakal diperlihatkan perbincangan intens antara 12 juri nan menyatakan argumennya masing-masing demi menentukan nasib sang terdakwa.
Dengan setting letak nan hanya berada di satu ruangan mini nan hanya disertai kipas angin kecil, kekuatan utama movie ini terletak pada dialognya. Sebagai penulis naskah, Reginald Rose terbilang sangat sukses dalam membangun perbincangan nan realistis. Percakapan antar para juri pun terkesan tidak terlalu mendramatisir, malahan terlihat sangat mengalir dan nyata.
Dari segi penyutradaraan, Sidney Lumet sukses mengeksplorasi lebih dalam setiap karakternya. Kepiawaian Sidney Lumet dalam mengolah naskah Reginald Rose ke dalam format sinema seakan membawa para penonton untuk menjadi seorang pengamat nan datang di dalam ruangan berbareng 12 orang juri itu. Sebagai penonton, kita bakal turut terbawa suasana nan tegang, panas, dan intens dari ruangan tersebut.
Meskipun movie ini didominasi oleh segmen percakapan, para penonton tidak bakal merasa jenuh lantaran pace movie ini memang dibuat tidak bertele-tele dengan lama nan hanya 1 jam 35 menit.
Sebuah Satir untuk Sistem Peradilan AS
Tidak hanya dari segi dialog, departemen akting movie ini juga patut diapresiasi. “12 Angry Men” diperankan oleh sederet tokoh legendaris pada masanya. Masing-masing tokoh membawakan peran sebagai karakter nan unik.
Yang paling mencolok mungkin Henry Fonda nan berkedudukan sebagai juri no. 8, seseorang nan sedari awal konsisten menyatakan bahwa terdakwa tidak bersalah dan terus berpegang teguh pada argumennya. Lalu terdapat tokoh kawakan lain, Martin Balsan sebagai juri No. 1 nan merangkap sebagai mediator diskusi.
Di setiap movie pasti dibutuhkan sosok antagonis, dan dalam movie ini tokoh Lee J. Cobb dengan sangat baik memerankan juri No. 3 nan keras kepala dan arogan. Juri No. 3 menjadi pihak nan getol menginginkan terdakwa untuk dihukum.
Semua tokoh dalam movie ini bisa dibilang sukses menampilkan performa akting nan realistis. Mereka semua menambahkan banyak berat dan drama pada karakter masing-masing.
Overall, “12 Angry Men” memang layak dinobatkan sebagai salah satu movie aliran legal drama terbaik sepanjang masa. Hanya mengandalkan kekuatan perbincangan dan akting nan emosional, movie ini bisa bertengger di urutan ke-5 dalam daftar IMDb Top 250 Movies.
Di samping itu, movie ini secara jelas mengangkat rumor sosial nan sensitif dalam kultur lingkungan AS pada masa itu. Isu tersebut diceritakan kembali melalui perspektif pandang subjektif dari 12 orang juri. “12 Angry Men” merepresentasikan judulnya itu sendiri. Dengan banyak simbol-simbol nan disematkan melalui setting dan perspektif pengambilan adegan, suasan ruangan nan panas, serta format movie nan tetap hitam putih.
Melalui “12 Angry Men”, kita bakal tahu gimana bentuk sistem peradilan AS. Serta nan paling disorot dari movie ini adalah sisi manusiawi dari para juri itu sendiri. Bagaimana emosi dilematis nan mereka rasakan dalam memutuskan nasib seorang terdakwa nan apalagi belum tentu bersalah.
Penggunaan realisme bergaya Sidney Lumet, ketegangan nan terbentuk dari kepribadian setiap karakter, serta perbincangan nan kuat membikin “12 Angry Men” menjadi sebuah mahakarya sinema nan sempurna.