Abenk Alter: Pencarian Jati Diri dan Konsisten Berkarya

Sedang Trending 1 tahun yang lalu

Menjadi seorang dengan ketenaran tinggi tidak menjadikan Rizqi Rizaldi Ranadireksa alias dikenal dengan Abenk Alter terlena untuk tak bersuara dan berakhir berkarya. Justru, tujuh tahun lampau secara mengejutkan dia keluar dari grup nan telah membesarkan namanya demi mencari jati dirinya dalam kreativitas.

Abenk merupakan nama panggilan dari teman-teman, nama berkawan nan sekarang sudah menjadi salah satu nama besar dalam seni visual Indonesia. Nama nan memantiknya untuk terus membuktikan diri bagi dirinya sendiri dan juga orang orang di sekitar.

Karya visualnya mudah dikenali dan menarik mata untuk terus dinikmati. Cultura mencoba menghubunginya pada Minggu sore melalui daring dan menikmati mentari senja untuk mengobrol mengenai seni dan teknologi.

Sejak kapan tertarik bumi visual?

Dari dulu emang gue suka gambar tapi untuk “take for granted aja sih”. Biasalah gambar-gambar di buku.

Kenapa malah terjun ke bumi musik terlebih dahulu?

Ya, itu lantaran tongkrongan aja dulu. Emang jika nongkrong biasa bermusik.

Apa nan membikin lo percaya menjadi seorang perupa?

Mungkin salah satu aspek nan jadi pemantiknya lantaran pengajar gue bilang, “lo coba deh lebih serius dalam seni lukis.” Dan saat itu gue dalam proses untuk lebih mengenal sisi imajinatif dalam diri gue. Makanya gue nyoba untuk bermusik tapi akhirnya gue coba cari akarnya dan rupanya adalah lukis ini.

Bagaimana lo merubah persona dari seorang penyanyi menjadi artist visual?

Gue tidak terlalu mikirin persona itu, sebenernya. Hal itu otomatis aja sih, dibuktiin lewat karya. Maksudnya, gue emang tidak coba-coba alias main-main, dengan gue produktif orang tau gue berkarya, gue pameran. Seiring waktu pengesahan itu muncul, masalah persona itu lebih kayak accident aja dari apa nan gue kerjakan secara konsisten dan serius.

Dimana biasa Abenk Alter menemukan inspirasi?

Inspirasi gue dapet dari sehari hari-hari, bisa dimana aja. Ya, lo kudu buka mata aja, kadang-kadang dari perihal simple nan gue tweak aja. Contohnya, personal commission pasti ada titipan perihal nan mereka suka, ini menjadi sesuatu nan challenging nan justru membikin bahasa visual gue lebih luas dengan membikin narasi baru untuk karya tersebut.

Apa nan biasa lo tumpahkan sih di dalam sebuah kanvas?

Ada lapisan lapisannya, mungkin dulu lebih nan krusial tertuang di kanvas dan berkarya. Makin kesini gue jadi bertanya ke diri sendiri lukis itu buat gue apa sih? Nyambung ke pameran gue kemarin “Ritual Merilis” tentang hal-hal nan menjadi glorifikasi di kehidupan lo alias perihal nan lo mau dan kudu lo kuatkan jika tidak bakal menjadi suatu penyakit. Maksudnya, berjalannya waktu ada sesuatu dalam diri kita secara tidak sadar ada nan terpendam. Nah itu, gue mulai menyadari bahwa melukis itu krusial untuk diri gue mengeluarkan perihal nan terpendam tersebut.

Proses berkarya lo gimana sih?

Gue baru aja menemukan satu metodologi baru ialah dengan membikin jurnal setiap pagi nan berisi 30 kata jelas alias tidak, nan krusial 30 kata. Sebenarnya perihal ini udah gue lakukan “journaling” diproses berkarya sebelumnya tapi tidak gue tulis, jadi sekarang lebih jelas dan lebih kerunut langkah gue berkarya. Jadi gue baru denger: “making art is not just about emotion, it’s about what you do with the emotion”, jadi tidak cuman mengekspresikan emosi tapi gimana lo berkomunikasi dengan emosi itu. Itu value nan lebih dari sekedar nomor di karya gue.

Siapa influence besar untuk Abenk Alter dalam berkarya?

Banyak banget, gue nyomot sana sini kok. Gue mengakui tidak original dan not such a thing original juga. Proses tidak original ini bukan berfaedah gue meng-copy tapi memproses apa saja nan bisa dijadikan Bahasa visual Abenk Alter. Gue sangat menghindari dari apa nan gue copy, ethosnya itu bukan sekedar lantaran gue suka alias ini keren tapi lebih kepada: “Oh ini bisa gue pake untuk mengkomunikasikan perihal ini alias ini bisa gue pakai untuk komposisi nan ini. jadi gue masak lagi dengan approach, teknik, dan komposisi nan berbeda.”

Abenk Alter dikenal sebagai seniman nan mudah berkolaborasi, gimana lo memberikan batas antara karya komersil dengan personal?

Pertama untuk kolaborasi, gue cukup picky untuk sebuah kerjasama lantaran gue sadar masuk bumi seni visual ini tidak seperti dulu semua demi popularitas, gimana lagu bisa diputar di radio dan perihal lainnya. Di seni visual ini gue tidak mau itu terulang, gue kudu stay true terhadap diri sendiri untuk terus berkembang. Tidak hanya demi cuan dan orang kenal karya gue.

Bagaimana Abenk Alter mendeskripsikan style melukis dalam karya lo?

Dari pameran gue terakhir, curator untuk pameran itu bilang posisi karya dengan simbol dan karakter unik gue ada di ranah neo cubism. Menurut dia ada pengetahuan ukur nan muncul disitu, kemudian ada Bahasa visual nan pop culture. Angga juga bilang cubism Abenk Alter itu bukan nan mencoba mendekonstruksi sesuatu, dia bilang gue se-sederhana melanjutkan satu garis dengan hal-hal nan muncul dari pemikiran gue. Kalau untuk gue pribadi, gue bakal ngomong tidak tau!

Ada rencana untuk kembali ke bumi musik?

Gue tidak pernah ngomong berakhir untuk bermusik. Maksudnya, formatnya bisa macem-macem tidak selalu dalam corak band alias nyanyi. Bisa jadi projek NFT gue alias backsound pameran. Dari gue mulai berkarya visual sebenernya tetap ngeluarin single dan bantu temen nulis lagu. Nah, begitulah obrolan singkat dengan Abenk Alter mengenai karya dan konsistensi nan udah dia lakukan selama 7 tahun belakangan ini.

Jangan lupa untuk memandang karya Abenk nan menginterpretasikan makna limitasi, langsung aja klik di sini.