Memperingati 25 tahun semenjak perilisannya pada 1997, “Titanic” jenis remastered oleh James Cameron dijadwal untuk kembali ke bioskop pada 10 Februari mendatang. Film nan dibintangi oleh Kate Winslet dan Leonardo DiCaprio ini bakal dirilis ulang dalam format 3D 4K HDR dan high-frame rate.
Pada 1998, “Titanic” masuk dalam 14 kategori nominasi Academy Awards. Kemudian sukses memenangkan 11 piala Oscars, termasuk Best Picture. Kesuksesan movie ini pada era 90-an memang tidak bisa terpungkiri. Meninggalkan legasi nan fenomenal dalam bumi budaya pop nan tetap relevan hingga saat ini.
James Cameron baru saja dinobatkan sebagai satu-satunya sutradara dengan 3 movie nan meraup pendapatan box office USD 2 miliar, berkah kesuksesan “Avatar: The Way of Water”. “Titanic” sendiri menjadi movie pertama nan meraup penghasilan sebanyak USD 1 miliar, memperkuat sebagai satu-satunya selama 12 tahun. Kini menduduki posisi ketiga dengan penghasilan tertinggi mencapai USD 2.2 miliar USD. Tak hanya menghasilkan keuntungan serta mendobrak karir James Cameron sebagai sutradara, movie ini juga berkedudukan besar dalam meng-boost karir akting Kate Winslet dan Leonardo DiCaprio.
Pada titik ini, “Titanic” mungkin mulai overrated bagi beberapa kalangan. Terkenal sebagai movie bergenre percintaan dengan tragedi, kisah Rose dan Jack dianggap terlalu klise apalagi cheesy. Belum lagi perdebatan tentang ‘dilema pintu mengapung’ nan tak ada habisnya apalagi hingga saat ini. Leonardo DiCaprio selalu menolak untuk memberikan pendapatnya, sementara James Cameron sampai hendak merilis film dokumenter bermuatan science untuk mengakhiri perdebatan tersebut.
Sebetulnya, apa nan membikin “Titanic” begitu sukses dan ikonik? Lebih dari sekadar milestone profit, penghargaan, dan penanjakan karir bagi kedua bintang utamanya, movie ini mempunyai banyak argumen teknikal dari perspektif pandang produksi movie nan patut diapresiasi.
Cr. 20th Century Studios
Bagaimana Titanic Memiliki Eksekusi Durasi 3 Jam nan Sempurna?
Mendengar lama film nan mencapai 3 jam memang cukup mengintimidasi penonton. Namun, jika dieksekusi dengan tepat, sangat memungkinkan untuk membikin penonton rela duduk di bioskop selama 3 jam untuk menonton movie nan betul-betul bagus. Ini bukan pertama kalinya “Titanic” kembali ke bioskop. Setiap kesempatan tetap ada fans nan mau kembali menyaksikan kisah Rose dan Jack nan kudu berhujung tragis dengan tenggelamnya kapal pesiar nan menjadi saksi bisu kenangan mereka.
Hal tersebut lantaran lama 3 jam movie ini betul-betul dimaksimalkan untuk merangkai naskah nan kaya materi. Mulai dari pengenalan latar belakang masing-masing karakter, perkembangan hubungan antar karakter, hingga akhirnya reka tragedi tenggelamnya kapal Titanic pada 15 April 1912.
Pertama kita bakal diajak mengenal Rose, gadis 17 tahun nan bakal menikah demi menyelamatkan finansial keluarganya. Ia dijodohkan oleh Caledon Hockley (Billy Zane) nan lebih jelek dari sekadar laki-laki nan tidak dicintai oleh Rose. Caledon adalah laki-laki temperamental, kasar, dan mempunyai ego nan tinggi. Perannya tak kalah krusial untuk menambah kompleksitas dalam hubungan Rose dan Jack.
Kemudian ada ibu Rose (Frances Fisher), nan tak pernah berakhir mengingatkan Rose kenapa dia tidak mempunyai kebebasan untuk memilih jalan hidup, untuk mencintai orang nan betul-betul dia cintai. Kemudian mengeksplorasi perbedaan kelas sosial Rose dan Jack nan sangat kontras. Rose adalah penumpang kelas atas nan duduk dengan sekelompok orang bergengsi lainnya, apalagi kenal dengan kapten kapal dan perancang kapal. Sementara Jack dari deck bawah, tidur berbareng dengan penumpang kelas bawah lainnya tanpa sekat.
Hingga akhirnya mengeksekusi peristiwa tenggelamnya kapal Titanic dari awal hingga akhir. Proses tenggelamnya kapal dalam movie ini disajikan dengan berjenjang dan tidak terburu-buru. Dimulai dari kepanikan nan secara perlahan membikin penumpang panik, hingga akhirnya berkembangan menjai kekalutan nan tak terhindarkan. Kita bisa memandang ada nan tetap berjuang untuk hidup, ada pula nan sudah pasrah.
Tanpa mengenal Rose dan Jack, serta kisah cinta nan terjalin di antara keduanya, kita tidak bakal mempunyai simpati pada dua karakter ini untuk selamat dari musibah nan sedang terjadi.
Berani Anggarkan Budget Selangit, Titanic Sajikan Produksi Maksimal
Pada masanya, “Titanic” merupakan movie drama bermuatan sejarah dengan budget tertinggi nan pernah ada. Pada 1997, budget movie sebesar USD 200 juta merupakan anggaran nan sangat besar. Anggaran tersebut akhirnya memang terlihat pada hasil akhir dari produksi “Titanic”.
Jika memandang deretan nominasi dan piala Oscar nan didapatkan movie ini, lebih banyak dalam kategori teknikal. Mulai dari Best Art Direction, Best Cinematography, Best Film Editing, Best Costume Design, hingga Best Sound, Sound Effects Editing, dan Visual Effects.
Bahkan setelah 2 dekade, produksi “Titanic” tetap bisa disandingkan dengan film-film produksi modern nan pastinya lebih canggih. “Titanic” seumpama busana nan dijahit dari material nan sangat mahal, oleh lantaran itu tetap tahan dan awet meski telah melintasi beragam era. Bahkan tetap ada movie masa sekarang nan CGI-nya tetap kalah dengan “Titanic”.
James Cameron berbareng segenap crew movie lainnya juga melakukan research demi menghidupkan kapal Titanic. Mulai dari interior hingga eksterior kapal, serta penampilan setiap karakter nan disesuaikan dengan trend fashion pada masanya. Cameron mengeluarkan upaya semaksimal mungkin untuk menciptakan setting movie nan akurat.
Elaborasi Kisah Cinta Rose dan Jack nan Tak Sekadar Klise
Tidak dipungkiri kisah Rose dan Jack adalah skenario fiksi nan didramatisir. Dengan segala klise dan ke-cheesy-annya. Namun, ada beberapa perincian dalam kisah cinta Rose dan Jack nan menyentuh hati segenap hati penonton setianya. Sebagai narator dalam kisahnya sendiri, Rose menyebut bahwa dia tidak senang ketika hendak menaiki Titanic. Baginya itu bukan kapal pesiar nan mewah, namun kapal pengangkut tahanan. Karena dia tidak ingin menikah dengan Caledon Hockley. Sementara Jack merasa sangat beruntung untuk bisa memenangkan tiket kapal pesiar tersebut.
Jack adalah karakter nan memancarkan semangat hidup bebas. Tanpa mengkhawatirkan pekerjan, materi dan status. Ia tidak peduli dimana dia bakal tidur, apakah dia sanggup membeli makanan keesokan hari. Sementara Rose hidup dalam sangkar emas. Tidak bisa menunjukan antusiasme pada perihal nan betul-betul dia peduli. Tak mempunyai kendali untuk menentukan hidupnya. Tidak bisa memilih dengan siapa dia mau menikah. Rose memandang kebebasan dalam Jack, sesuatu nan dia inginkan lebih dari apapun.
Pertemuan keduanya terjadi ketika Rose hendak bunuh diri dengan terjun ke laut. Berusaha menghentikan Rose menjadi tindakan nan wajar dari Jack. Rose mau mati, sementara Jack mempunyai mimpi dan tak sabar untuk melanjutkan kehidupan setelah tiba di New York. ironinya, kisah justru berhujung dengan Rose nan memperkuat hidup dan sebaliknya, Jack nan meninggal lantaran mengorbankan diri.
Bahkan dengan akhir demikian, Jack mengungkapkan bahwa memenangkan tiket kapal Titanic tetap menjadi suatu keberuntungan baginya. Jack telah menghabiskan masa mudanya dengan kebebasan. Pengorbanannya menjadi tiket kebebasan bagi Rose. Hingga akhirnya dia membawa semangat hidup Jack dengan memakai nama belakangnya, melanjutkan hidup sebagai Rose Dawson.
Cr. 20th Century Studios
Mengapa Jack Harus Mati dalam Titanic?
Kisah Rose dan Jack adalah kisah cinta nan fiksi, namun tragedi tenggelamnya kapal Titanic adalah peristiwa berhistoris nan nyata. Terjadi pada 1912, mungkin banyak dari kita susah untuk simpati dengan segenap korban dalam tragedi tersebut.
Pertama, lantaran sudah berlalu sangat lama, nyaris terdengar seperti dongeng alias legenda bagi kita. Kedua, lantaran kita tidak bersenggolan langsung dengan tragedi tersebut. Mayoritas dari kita jelas tidak mempunyai kerabat alias kenalan nan menjadi korban dalam tragedi tersebut untuk bisa relevan dengan rasa berkabung.
Tragedi tidak bakal memberikan akibat apapun pada kita, jika kita bisa selamat berbareng dengan orang nan kita cintai. Jika Rose dan Jack selamat dari tragedi Titanic, kita bakal mengenang peritiwa berhistoris tersebut bukan sebagai tragedi, namun kisah cinta dengan akhir bahagia. Itu mengapa, gimana pun caranya, Jack kudu meninggal dalam kisah ini. Agar kita bisa mengalami rasa berkabung dari suatu tragedi nan betul-betul terjadi, melalui perspektif pandang Rose nan mencintai Jack.
Memperdebatkan ‘dilema pintu mengapung’ dalam movie ini sebetulnya juga menjadi salah satu manifestasi patah hati dari penonton nan tak rela Jack kudu mati. Dengan kata lain, movie ini sukses membikin penonton berkabung atas kematian Jack. Karena jujur saja, jika Rose dan Jack selamat dan bisa hidup bersama, belum tentu mereka bakal menjalani kehidupan senang dengan cinta nan demikian membara ketika mereka berada di atas kapal tersebut.
Jadi, apa tetap pada mau memperdebatkan salah satu kontroversi terbesar dalam budaya pop ini? Ini bukan movie tentang science, “Titanic” adalah movie tragedi.