Pernahkah membayangkan diri kita jika dilahirkan dalam salah satu semesta dystopia nan kita tonton dalam film? Jika kita menjadi salah satu anak Panem nan tinggal di District, apakah kita bakal melakukan perlawan dan memulai revolusi seperti Katniss Everdeen?
Kebanyakan movie alias serial berlatar dystopia mempunyai plot nan sama; ialah dengan protagonis sebagai tombak revolusi alias sekadar karakter-karakter nan tidak setuju dengan keadaan. Kemudian mencari langkah untuk kabur dari situasi mereka di dystopia.
Mulai dari movie seperti “Divergent”, “Maze Runner”, “The Lobster”, “Blade Runner”, “Matrix” adalah beberapa movie berlatar dystopia terkenal dimana menunjukan upaya protagonisnya untuk menentang apalagi menghancurkan sistem nan dianggap menyimpang secara moral. Namun , gimana jika Thomas Anderson dalam “Matrix” lebih memilih pil biru dan tinggal di realita tiruan namun nyaman? Atau Rick Deckard dalam “Blade Runner” tidak berupaya menentang nasibnya sebagai replicant?
“Never Let Me Go” (2010) sekilas terlihat seperti movie drama sci-fi melankolis tentang cinta dan persahabatan nan generik. Namun, movie nan diadaptasi dari novel berjudul sama karya Kazuo Ishiguro ini mempunyai pendekatan nan berbeda dan lebih filosofis. Ketika protagonisnya, Kathy H, memilih untuk alim dan pasrah dengan semesta dystopia dimana dia terlahir sebagai kloning.
Intisari Never Let Me Go oleh Kazuo Ishiguro
“Never Let Me Go” merupakan novel bergenre dystopian sci-fi nan ditulis oleh Kazuo Ishiguro, terbit pada 2005 silam. Berlatar di Inggris, kisah konsentrasi pada tiga karakter utama, Kathy H, Ruth, dan Tommy. Dimulai pada masa mini mereka sebagai anak-anak nan tumbuh besar di suatu pondok berjulukan Hailsham. Hingga akhirnya mereka mengetahui bahwa mereka bukan anak-anak biasa, melainkan kloning manusia nan ditakdirkan untuk menjadi ‘pendonor’ organ vital ketika menginjak usia 20an.
Buat fans anime, mungkin familiar dengan anime “The Promised Neverland” nan kurang lebih mempunyai latar seperti pondok Hailsham. Dimana anak-anak di panti didikan mereka rupanya dirawat dan dibesarkan sebagai ‘ternak’. Akhirnya memotivasi protagonisnya untuk membujuk semua anak-anak berlatih untuk kabur sebelum berjumpa dengan takdir mereka.
Berbeda dengan Kathy H, setelah mengetahui takdir nan menantinya setelah dewasa, dia tetap tinggal di Hailsham berbareng kedua sahabatnya hingga menginjak usia remaja. Mereka apalagi akhirnya dipindahkan ke rumah singgah baru, dimana mereka bebas keliling kota berbareng sesama calon pendonor lainnya. Tidak ada perlawanan, tidak ada rencana kabur berbareng apalagi pernah terselip dalam pikiran Kathy berbareng sahabatnya.
Kathy, Ruth, dan Tommy akhirnya terjebak dalam situasi cinta segitiga nan kompleks bergumul dengan emosi hingga mengalami pergulatan internal bakal takdir mereka sebagai kloning nan ada hanya untuk dipanen organ vitalnya. Dalam hidup nan singkat tersebut, mereka berupaya menemukan makna dan tujuan dalam hidup mereka, sembari kembali mempertanyakan implikasi moral dari keberadaan mereka.
“Never Let Me Go” merupakan literasi nan mengeksplorasi rumor kemanusian, moralitas, dan nilai kehidupan. Menimbulkan perbincangan tentang identitas, etika kloning manusia, dan sejauh mana masyarakat dapat mencapai kemajuan medis. Novel Ishiguro ini mendapatkan respon positif lantaran penceritaannya nan tajam dan eksplorasi dilema etika secara filosofis daripada action thriller seperti pada novel-novel bertema dystopia pada umumnya.
Kathy H Membuat Kehidupannya di Semesta Dystopia Tidak Terlihat Terlalu Buruk
Meski mencintai Tommy sepenuh hati, rupanya Tommy tidak pernah memandang Kathy lebih dari teman, dan melanjutkan hubungannya dengan Ruth. Kathy nan kesenyapan pun memutuskan untuk mengikuti training sebagai ‘perawat’.
Perawat dalam semesta ini adalah seorang pendonor nan menerima penangguhan lantaran kontribusinya sebagai perawat nan merawat pendonor, terutama secara emosional, agar mereka lebih tenang selagi melakukan donor. Karena seorang pendonor bisa menjalani lebih dari satu kali operasi dan mengalami penurunan kondisi selama prosesnya.
Memasuki babak terakhir dalam “Never Let Me Go”, kita bisa memandang gimana kehidupan Kathy tidak terlalu jelek sebagai kloning. Ia tinggal di apartemennya sendiri, mempunyai rutinitas sebagai perawat, dan tetap sempat reuni dengan sahabatnya, Tommy dan Ruth. Hal ini lantaran karakter Kathy sudah menerima takdirnya sejak kecil, dia tidak terlihat ketakutan, dan dia tak pernah berpikir cukup kritis untuk menentang kehendak nan telah diberikan padanya.
Berbeda dengan protagonis dalam dystopia lainnya nan merasa tertekan dan tertindas dalam semesta nan diselimuti aliran thriller. Sementara “Never Let Me Go” adalah sajian drama tragedi nan melankolis.
Kalau Kathy saja bisa menerima nasibnya, kenapa penonton kudu menentang kepasrahan pada karakternya? Kita hanya bisa menyimak gimana Kathy menjalani hidupnya dan memanfaatkan setiap waktu nan tersisa untuk sesuatu nan bermanfaat. Baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain.
Perbedaan kita dengan Kathy hanya, takdir Kathy sudah dipastikan dan dia tahu kapan kehidupannya bakal berakhir, sementara kita tidak. Namun satu pelajaran nan bisa ambil dari kisah Kathy adalah kepasrahannya nan kemudian mengarahkannya pada upaya menjalani hidup selagi dia ada. Jika dia bakal meninggal pada usia 20an, apa lantas dia kudu menjalani masa remajanya hanya dengan depresi dan ketakutan hingga waktunya tiba?
Jika Kathy mempunyai pilihan untuk memperjuangkan kebebasannya alias tunduk pada sistem dengan hasil akhir nan sama; dia bakal tetap meninggal pada usia 20an, bukannya lebih baik menjadi perawat nan berfaedah selagi bisa?
Jika protagonis seperti Katniss Everdeen mempunyai kekuatan untuk mengubah sistem, Kathy H mempunyai kekuatan untuk menanggung sistem. Melalui kisah Kathy, kita bisa belajar bahwa dalam situasi nan mengerikan sekalipun, kita mempunyai pilihan untuk pasrah. Ketika kita sudah pasrah dan lapang dada, maka menjalani kehidupan dengan kematian nan menanti di masa depan tidak bakal terasa susah dan menakutkan lagi.