‘Pengeling’ nan berfaedah pengingat dan ‘Pura’ nan berfaedah tempat leluhur. Setidaknya dua kata ini nan menginspirasi kata “Penglipuran”, nan berfaedah sebagai sarana pengingat para leluhur.
Desa Penglipuran adalah desa budaya nan terletak di Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, Bali, sekitar 45 km dari kota Denpasar.
Pemandangan Desa Adat Penglipuran dari udara menghadap ke arah selatan.
Pertama memasuki gerbang desa ini suasana tatanan asri dan simetris begitu terasa. Sebuah jalan utama desa nan tersusun rapi dari batu dengan rumah-rumah penduduk di kanan-kirinya. Wisatawan asing dan domestik datang dan pergi silih berganti. Beberapa masuk ke area pekarangan rumah penduduk hanya untuk sekedar melilhat-lihat, mendokumentasikan dengan kamera alias membeli souvenir.
Seorang anak wanita sedang menunggu dagangan souvenir dengan bermain HP di pekarangan rumahnya.
Desa Adat Penglipuran adalah satu-satunya desa budaya di Bali nan tetap mempertahankan tata letak dan arsitektur tradisional unik Bali. Bentuk gedung rumah satu dan lainnya jika dilihat sekilas sangatlah mirip, nampak seragam. Kemiripan dari tiap-tiap rumah terlihat pada pintu gerbang, genting dan tembok nan menggunakan bambu, lebar pintu gerbang hanya muat untuk satu orang dewasa.
Aktivitas Warga Sekitar
Menurut sejarah, masyarakat desa ini berasal dari Desa Bayung Gede, Kintamani. Konon, masyarakat Bayung Gede adalah orang-orang nan mahir dalam aktivitas agama, budaya dan pertahanan. Karena kemampuannya, orang-orang Bayung Gede acap kali dipanggil ke Kerajaan Bangli. Tetapi lantaran jaraknya nan cukup jauh, Kerajaan Bangli akhirnya memberikan wilayah sementara kepada orang Bayung Gede untuk beristirahat. Tempat beristirahat ini sering disebut sebagai Kubu Bayung, nan sekarang menjadi Desa Penglipuran. Inilah argumen nan menjelaskan kesamaan peraturan tradisional serta struktur gedung antara desa Penglipuran dan desa Bayung Gede.
Konsep Tri Mandala
Dalam konsep Tri Mandala, tata ruang desa dibagi menjadi 3 area sesuai dengan nilai kesuciannya. Zona tersebut kemudian disesuaikan dengan orientasi spiritual nan berjulukan “Kaja-Kelod”. Hal nan dianggap paling suci bakal ditempatkan menuju Gunung Agung (tempat nan dianggap paling suci di Bali) dan kebalikannya perihal nan paling tidak suci bakal ditempatkan menuju laut.
Utama Mandala adalah tempat nan paling suci dan berada di paling utara, ialah Pura Penataran, tempat penyembahan Dewa Brahma (Dewa Pencipta) dan Pura Bale Agung untuk memuja Dewa Wisnu (Dewa Pemelihara).
Wisatawan mancanegara sedang memandang wanita lanjut usia nan menyunggi peralatan di kepalanya.
Madya Mandala adalah area untuk manusia, nan letaknya di bawah pura. Disini masyarakat Penglipuran bakal tinggal berbareng dengan keluarganya di sebuah unit bangungan nan disebut sebagai Pekarangan. Saat ini desa dihuni oleh 985 jiwa dalam 234 family pada catatan sensus terakhir. Mereka tersebar di 76 pekarangan nan terbagi rata di setiap sisinya dari total 112 hektar. Mata pencaharian masyarakat kebanyakan sebagai petani, pengrajin anyaman bambu dan peternak.
Nista mandala berada di paling selatan dan merupakan area nan dianggap paling tidak suci. Oleh lantaran itu, area ini berisikan kuburan desa dan Pura Dalem alias tempat pemujaan Dewa Siwa (Dewa Pelebur). Walaupun pemeluk Hindu tapi masyarakat desa Penglipuran Bangli tidak mengenal upacara pembakaran mayat, namun langsung dikubur.
Suasana Desa Adat Penglipuran dengan jalan tersusun rapi dari batu dan deretan rumah nan nampak seragam.
Struktur tata letak satu unit pekarangan juga mengikuti konsep Tri Mandala. Utama Mandala di sebuah pekarangan bakal berisi pura family untuk menyembah dewa serta leluhurnya. Madya Mandala bakal digunakan untuk aktivitas kehidupan sehari-hari (dapur, bilik tidur, dan lain lain). Terakhir, Nista Mandala biasanya digunakan untuk mengeringkan baju dan penyimpanan hewan ternak.
Sistem Hukum dan Perkawinan
Warga Desa Penglipuran mempunyai 2 jenis norma nan mereka taati dan ikuti ialah Awig-Awig (peraturan tertulis) dan Drestha (adat kebiasaan tak tertulis).
Mayoritas masyarakat melakukan pernikahan dengan sesama penduduk desa. Oleh karena itu sebagian besar masyarakat tetap terikat hubungan darah antara satu sama lain. Jika terdapat laki-laki dari Desa Adat Penglipuran nan menikahi gadis dari family di luar penduduk Penglipuran maka dia tetap kudu melakukan tanggungjawab nan dimilikinya sebagai penduduk Desa Adat Penglipuran.
Seorang wanita lanjut usia sedang mengasuh dua cucunya di sebuah pawon rumah, ialah tempat tidur di depan tungku dapur.
Bagi para laki-laki Penglipuran mempunyai lebih dari satu istri merupakan perihal nan dilarang. Jika seseorang mempunyai lebih dari satu istri maka dia dan istri-istrinya kudu pindah dari Karang Kerti ke Karang Memadu (masih didalam desa tetapi bukan bagian utama). Hak dan kewajibannya sebagai penduduk Desa Adat Penglipuran juga bakal dicabut. Setelah orang tersebut pindah, maka bakal dibuatkan rumah oleh penduduk desa tetapi mereka tidak bakal boleh melewati jalanan umum ataupun memasuki Pura dan mengikuti aktivitas adat. Ini merupakan corak penghormatan dan perlindungan terhadap kaum perempuan.
Bagi nan ketahuan mencuri, bakal dihukum untuk memberikan sesajen lima ekor ayam dengan warna bulu ayam nan berbeda di 4 pura leluhur mereka. Dengan langkah ini, semua masyarakat desa bakal mengetahui siapa nan mencuri, tentunya bakal membikin pengaruh jera.
Seorang wanita lanjut usia sedang melangkah dengan menyunggi peralatan di kepalanya.
Bambu
Sekitar 40% dari lahan desa adalah rimba bambu. Bambu Penglipuran merupakan salah satu bambu terbaik di Bali. Menebang pohon bambu di desa ini tidak boleh tanpa izin dari tokoh masyarakat setempat. Masyarakat Penglipuran memercayai bahwa rimba tersebut tidak tumbuh sendiri melainkan ditanam oleh pendahulu mereka. Oleh karena itu bambu dianggap sebagai simbol akar sejarah mereka.
Hutan bambu seluas 37.7 ha (sebelumnya 50 ha) dan terdiri dari 15 jenis bambu nan seluruhnya berstatus milik desa. Sebagian dari rimba tersebut dikelola langsung di bawah Adat Desa sebagai Laba Pura (diperuntukan untuk pemeliharaan gedung pura), sedangkan sebagian dikelola oleh beberapa masyarakat dengan status kewenangan pakai.
Tipat alias ketupat dalam bahasa Bali, nan sedang digantung pawon sebuah rumah. Tipat merupakan salah satu makanan pokok selain nasi putih.
Bambu juga dimanfaatkan untuk membikin gedung maupun rumah. Mereka menggunakkan 4-5 lapisan bambu nan dikaitkan satu sama lain untuk membangun genting dan menganyam bambu untuk dijadikan tembok pembatas/dinding ruangan. Tetapi belakangan ini masyarakat Penglipuran sudah mulai menggunakkan bangunan modern lantaran banyaknya bambu nan ditebang. Pekarangan dapat dimasuki melalui dua sisi dengan pintu utamanya nan berbentuk gerbang dan berjulukan “angkul-angkul’ dengan cat tembok berbahan dasar tanah liat.
Berikut adalah beberapa gedung nan dibangun menggunakan bambu:
Pawon – Bangunan nan berfaedah sebagai dapur nan didalamnya terdapat lumbung padi serta tempat mini untuk beristirahat. Pawon keseluruhannya dibangun menggunakan bambu termasuk atap, dinding, tempat tidur, apalagi peralatan makan nan terdapat di dalamnya.
Bale Sakenem – Bangunan tempat dilaksanakannya upacara kepercayaan nan hanya dikhususkan untuk keluarga. Upacara nan sering dilakukan pada Bale Sakenem ini adalah upacara Pitra Yadnya (Ngaben) dan upacara Manusa Yadnya. Bangunan ini memakai bambu sebagai atapnya.
Bale Banjar – Bangunan nan dapat digunakan berbareng oleh seluruh masyarakat adat di Penglipuran. Bangunan ini tidak mempunyai dinding, hanya mempunyai tiang penyangga dan digunakan untuk prosesi upacara Ngaben masal dan pertemuan warga.
Sabet Berbagai Penghargaan
Tahun 1993, desa budaya ini ditetapkan sebagai Desa Wisata Penglipuran dengan Surat Keputusan (SK) Bupati No. 115 tanggal 29 April 1993. Desa ini lantas tercatat menerima penghargaan Kalpataru pada tahun 1995. Karena masyarakat setempat dianggap bisa menyelamatkan lingkungan. Mereka bisa mempertahankan dan memelihara 75 hektar rimba bambu dan 10 hektar vegetasi lainnya nan menjadi karakter unik desanya. Selain itu, masyarakat di desa ini juga bisa mempertahankan budaya budaya para leluhur dan juga tata kota serta gedung tradisionalnya.
Pintu gerbang (angkul-angkul) menuju pura family dengan dua arca penjaganya.
Penghargaan terbaru nan disabet berasal dari TripAdvisor berupa The Travellers Choice Destination 2016. Meski sebenarnya penghargaan ini dijatuhkan pada Pulau Dewata sebagai pulau kedua terbaik setelah Kepulauan Galapagos di Ekuador, nama Desa Wisata Pengliburan pun acap kali diperbincangkan. Hingga akhirnya desa ini dinobatkan sebagai desa terbersih ke-3 di bumi jenis majalah internasional Boombastic berbareng desa Desa Terapung Giethoorn di Provinsi Overijssel Belanda, dan Desa Mawlynnong nan ada di India.
Tahun 2017 mendapat penghargaan ISTA (Indonesia Sustainable Tourism Award) dengan ranking terbaik untuk kategori pelestarian budaya. Penghargaan terbaru, Penglipuran dan Pemuteran masuk dalam Sustainable Destinations Top 100 jenis Green Destinations Foundation.
Untuk memasuki Desa Adat Penglipuran, visitor dewasa domestik hanya perlu bayar tiket sebesar Rp 15,000, alias Rp 30,000 untuk visitor mancanegara. Sedangkan anak-anak domestik seharga Rp 10,000, dan Rp 25,000 untuk mancanegara.