Setiap orang tentu mempunyai angan nan mau digapai, terlepas dari latar belakang keluarganya. Meski begitu, bakal ada masanya seseorang mendapatkan perihal nan tak pernah dia inginkan dan berupaya beradaptasi terhadapnya berbarengan dengan beragam argumen untuk diperjuangkan. Singkatnya, itulah konsentrasi dalam ‘Blue Beetle’ nan sedang mengudara di bioskop.
‘Blue Beetle’ merupakan movie superhero dari Warner Bros Pictures nan diarahkan oleh Angel Manuel Soto. Menempatkan Xolo Mariduena sebagai pemeran utamanya, movie keempat belas dalam ‘DC Extended Universe’ ini bercerita tentang Jaime Reyes nan kembali ke kampung laman setelah menyelesaikan kuliahnya. Akan tetapi, kala berupaya mendapatkan pekerjaan demi menyelesaikan hutang keluarganya, dia berjumpa dengan Jenny Kord nan memintanya untuk menjaga barang berjulukan Scarab, nan justru membikin dirinya diburu oleh Victoria Kord dan pasukan militer canggihnya.
Dalam narasinya, movie ini terasa seperti movie standalone lain dari DCEU nan membawa kisah dari karakter baru layaknya ‘Man of Steel’ maupun ‘Wonder Woman’ beberapa tahun lalu. Dengan alur cerita nan ditampilkan secara linear, movie ini hadirkan cerita nan segar dan mudah dipahami apalagi bagi penonton nan belum pernah menikmati film-film maupun series lain nan tergabung dalam DCEU sekalipun.
Representasi ‘Blue Beetle’ sendiri banyak berfokus antara pencarian jati diri, menjaga legacy dan pentingnya family dalam beragam kondisi. Walau konsentrasi tersebut bisa jadi dianggap usang, penerapannya untuk mengenalkan Jaime Reyes dan origin dari karakter Blue Beetle sendiri terasa sangat wholesome dan dramatic, membuatnya berbeda dibanding film-film DCEU kebanyakan nan condong lebih serius.
Tanpa mengandalkan cast yang terkenal di kalangan penikmat sinema Hollywood, ‘Blue Beetle’ sendiri sukses menampilkan rentetan pemeran nan cukup sukses dalam membawakan karakternya masing-masing. Tentu saja, Xolo Mariduena dan George Lopez nan paling mendominasi melalui chemistry keponakan-pamannya sebagai jenis lain dari Bruce Wayne-Alfred Pennyworth nan lebih grounded.
Sebagai movie nan tampak berdiri sendiri dan terasa lebih rendah bujet dibanding beberapa movie DCEU lainnya, ‘Blue Beetle’ tampak sajikan teknis nan tidak kalah bagus. Pujian pertama diarahkan dengan CGI nan terasa melebur dengan scene, membuatnya seakan menjadi major upgrade dari ‘The Flash’ beberapa bulan lalu.
Selain itu, steady shot dan set design bertema urban area dengan segala kesenjangan nuansanya dapat ditampilkan dengan baik, membikin dunianya terasa masuk logika dengan tema besar dari filmnya.
‘Blue Beetle’ adalah movie standalone DCEU nan ramah untuk penonton awam dengan representasi sinematik nan penuh kehangatan dalam tema kekeluargaan dan pencarian jati diri seseorang.
Tanpa mempunyai kaitan besar dalam semesta DC itu sendiri, menikmatinya condong mudah tanpa kudu memikirkan backlog dari cinematic universe tersebut.