Pada 1960an, 13 wanita terbunuh di Boston, Amerika Serikat. Menduga ada kesamaan dari kasus pembunuhan tersebut, Loretta Laughlin menjadi wartawan pertama nan menulis kasus tentang Boston Strangler di surat kabar Boston Record American.
“Boston Strangler” merupakan movie biopik nan diangkat dari kasus pembunuhan sungguhan di Boston pada 1962. Dimana dua wartawan wanita, Loretta Laughlin (Keira Knightley) dan Jean Cole (Carrie Coon) mendapat izin untuk melakukan investigasi sebagai buletin utama di Boston Record.
Film pengarahan sutradara Matt Ruskin ini mengadaptasi materi pidana nyata namun dari perspektif jurnalistik. Cukup serupa dengan movie “Zodiac” nan juga diangkat dari kasus pembunuhan berantai oleh Zodiac Killer pada akhir 1960an di California Utara.
Selain mempunyai plot investigasi kriminal, dengan Loretta sebagai tokoh utama, movie ini juga menyinggung bumi jurnalistik pada masanya nan sexist. “Boston Strangler” tersedia untuk di-streaming di Disney+ Hotstar.
Adaptasi Kasus Boston Strangler dari Sudut Pandang Jurnalistik
Ini bukan pertama kalinya kasus Boston Strangler diangkat menjadi film. “The Boston Strangler” merupakan movie penyesuaian pidana nyata pada 1968 nan disutradarai oleh Richard Fleischer. Film penyesuaian tersebut disajikan melalui perspektif Albert DeSalvo (Tony Curtis) sebagai tersangka.
Film ini sebetulnya sampai diproduksi lantaran kepopuleran buletin dari surat kabar Boston Record nan ditulis oleh Loretta. Namun, “The Boston Strangler” merupakan movie nan terlihat seakan memihak apalagi bersimpati pada tersangka. Belum lagi konten kekerasan dan kebrutalan nan ditampilkan secara definitif pada movie ini. Bisa dibilang sangat tidak sensitif dengan emosi family 13 wanita nan menjadi korban.
Oleh lantaran argumen ini, “Boston Strangler” bisa digolongkan sebagai penyesuaian nan lebih baik. Pertama, lantaran tidak mengeksploitasi wanita-wanita nan menjadi korban dalam visual brutal. Kedua, lantaran mengambil perspektif pandang jurnalistik nan lebih terlihat etis dan mendalam. Mengajak kita memahami kasus pidana secara kronologis, mencari kebenaran cerita. Namun tidak penasaran dengan gimana pelaku memperlakukan korban-korbannya dengan brutal.
“The Boston Strangler” juga tidak bisa dibilang akurat, lantaran kasus ini kurang lebih sama dengan kasus Zodiac Killer. “Boston Strangler” memilih untuk setia pada kebenaran dan kebenaran, meskipun artinya penonton bakal mendapatkan jawaban nan tidak sesuai dengan ekspektasi.
Stigma Jurnalis Wanita di Amerika Serikat pada Era 1960an
Selain pemahaman kasus pidana melalui investigasi jurnalistik nan lebih etis, “Boston Strangler” juga angkat bentrok lain dalam naskahnya melalui kehadiran Loretta Laughlin. Seorang wartawan wanita nan tidak puas hanya dengan menulis tulisan style hidup dan mengulas produk rumah tangga untuk pembaca wanita pada umumnya. Setelah menemukan tiga tulisan tentang wanita nan meninggal dengan dicekik menggunakan stocking, dia mengusulkan ijin untuk melakukan investigasi pidana pada editor-nya.
Loretta sempat menerima penolakan lantaran hanya wartawan laki-laki nan biasanya melakukan investigasi dan menulis kasus kriminal. Hingga akhirnya dia mendapatkan support setelah sukses menemukan bahan buletin awal. Meski akhirnya sukses merilis buletin pidana pertama dan menggemparkan kota, Loretta tetap menerima opini sexist lantaran dia wanita nan dianggap tidak memahami bumi kriminal, gimana langkah kerja seorang polisi.
Ini kenapa “Boston Strangler” menjadi penyesuaian pidana nyata nan mempunyai pesan tepat sasaran dalam naskahnya. Tidak sekadar mengeksploitasi konten true crime nan belakangan lagi trending dengan argumen nan salah.
Ketika Polisi Mencari Pelaku, Jurnalis Mencari Kebenaran
Melalui karakter Loretta Laughlin dan Jea Cole kita bisa memandang komparasi nan menarik antara pihak kepolisian dengan wartawan dalam melakukan investigasi kasus kriminal. Hal ini juga menjadi salah satu rumor sosial nan akhirnya menimbulkan pembahasan dalam movie ini.
Dalam setiap peristiwa pidana dengan tersangka nan belum dipastikan, polisi dan masyarakat pada umumnya hanya mau teror tersebut berakhir. Polisi butuh pelaku untuk diserahkan ke pengadilan untuk dijatuhi balasan penjara. Lalu ketika tersangka diumumkan telah ditangkap, maka masyarakat umum bakal merasa aman.
Disinilah kewartawanan menuntut dan menawarkan sesuatu nan lebih, ialah kebenaran. “Boston Strangler” memilih untuk menyampaikan kisah nan sesungguhnya melalui tokoh Loretta, sementara movie seperti “The Boston Strangler” hanya mau mengeksploitasi konten pidana untuk penonton umum.
Lantas siapa nan memerlukan kebenaran? Keluarga korban menjadi korban terbesar dalam peristiwa seperti ini. Mereka nan memerlukan kebenaran untuk akhirnya mengikhlaskan kepergian orang tercinta dan melanjutkan hidup. Di situlah mulianya ketika seorang wartawan menulis buletin pidana dengan tujuan nan benar.