Dead Poets Society: Melahirkan Freethinker dengan Mendobrak Kakunya Sistem Pendidikan

Sedang Trending 5 bulan yang lalu

“Dead Poets Society” (1989) merupakan drama fenomenal nan tetap sering menjadi perbincangan banyak orang apalagi setelah puluhan tahun sejak penayangan perdananya pada 2 Juni 1989. Film ini mendapatkan banyak nominasi di Academy Awards ke-62 dan sukses membawa pulang piala untuk kategori Best Original Screenplay.

Film nan disutradarai oleh Peter Weir ini menceritakan tentang kehidupan para pemuda nan sedang berada di fase quarter life crisis, namun jiwa dan pikirannya tetap terkungkung dalam sistem pendidikan nan kaku dan membelenggu.

Film nan dibintangi oleh Robin Williams ini merupakan salah satu perjalanan pencarian jati diri anak muda nan walaupun berlatar tahun 1959 tetapi tetap relevan sampai sekarang.

Dead Poets Society

Memanfaatkan Kekuatan Sastra untuk Membuka Pikiran Manusia

Cerita “Dead Poets Society” berada dalam lingkup sekolah swasta elit Amerika berjulukan Welton Academy. Sekumpulan siswa nan semuanya laki-laki digembleng dengan patokan kedisiplinan nan sangat tinggi untuk mencapai hasil akademik nan unggul.

Neil Perry (Robert Sean Leonard) merupakan siswa terkenal nan lahir dari family otoriter, ayah Neil sudah merancang masa depannya menjadi seorang master nan sukses. Neil merupakan kawan satu bilik Todd Anderson (Ethan Hawke) siswa baru pemalu nan selalu dibayang-bayangi kesuksesan kakaknya.

Mereka berdua tergabung dalam kelas Sastra Inggris nan diisi oleh John Keating (Robin Williams), seorang pembimbing baru nan mempunyai metode pembelajaran unik di mata Neil dan teman-temannya.

Mr. Keating apalagi hanya mau dipanggil dengan julukan “O Captain! My Captain” dalam kelas, dia sering kali menggelar kelas terbuka di halaman, memerintahkan para siswa naik ke atas bangku, menyuruh mereka merobek laman kitab pelajaran, alias membujuk mereka mendengar bunyi dari gambar orang-orang mati.

Tidak ada kurikulum akademik nan Mr. Keating ajarkan pada siswa-siswanya, dia hanya membawa anak-anak muda nan terbelenggu patokan tersebut bisa bebas menentukan pilihan hidupnya, memandang dari perspektif pandang berbeda, berani mengambil keputusan, dan bisa mendengar bunyi hati mereka sendiri.

Dalam movie ini, pelajaran hidup nan diajarkan oleh Mr. Keating dirangkum dalam bahasa sastra berupa puisi-puisi nan hidup di jiwa siswa-siswanya. Melalui quote dari frasa Horatius “Carpe Diem! (Seize The Day)” yang secara tersurat membujuk mereka untuk merebut kesempatan nan ada di depan mata, membikin hidup Neil, Todd, dan lainnya mengarah pada kebebasan berpikir dan pemahaman tentang banyaknya perspektif pandang nan bisa mereka tangkap.

Dalam babak kedua movie berlangsung, penonton bakal menyaksikan gimana Neil mulai percaya diri untuk menjatuhkan hatinya pada bumi akting dan teater, Todd nan bisa kembali hidup dan menemukan dirinya sendiri, Knox Overstreet (Josh Charles) nan berani menjemput cintanya, dan Charlie Dalton (Gale Hansen) nan sukses menyuarakan keberaniannya. Hal-hal baik tersebut merupakan buah dari pengajaran Mr. Keating nan bisa menembus hati siswa-siswanya.

Pertempuran antara Idealisme dan Kewajiban

Selain berbincang tentang upaya untuk mendobrak patokan sekolah nan kaku dan konservatif, idealisme, serta gimana caranya menjadi manusia nan bebas “Dead Poets Society” juga membawa pandangan berbeda andaikan ditonton oleh penonton muda nan tetap berumur akhir umur belasan, alias penonton dewasa nan sudah mempunyai anak seusia Neil, Todd, dan teman-temannya.

Bagi penonton muda, “Dead Poets Society” bakal tampak nyala terangnya, setidaknya mereka bakal mempunyai pola pikir baru dan pandangan hidup nan lebih luas, itulah sebabnya banyak orang menyatakan bahwa movie ini sukses merubah perspektif pandang dan bisa menjadi pemantik perlawanan-perlawanan mini nan mau disuarakan. Seperti  apa nan dilakukan Dalton dalam forum besar berbareng kepala sekolah, dia mulai berani bersuara dengan langkah nan tidak biasa, dia bisa meraih atensi banyak orang dengan langkah nan unik.

Namun, bagi penonton nan memasuki usia matang, “Dead Poets Society” bisa jadi merupakan sebuah teguran mini tentang apa saja nan mereka pernah lewatkan. Tetapi, mimpi dan angan orang tua tidak semudah itu ditanggalkan.

Jika bisa diibaratkan angan Neil dalam movie tersebut memang merupakan angan nan besar. Namun, seseorang nan sudah mempunyai banyak pengalaman hidup seperti ayahnya, pasti mempunyai pertimbangan nan juga tidak kalah besar.

Pada akhirnya, tidak ada angan seorang anak nan layak dikorbankan, dan tidak ada angan orang tua nan patut dikerdilkan, semuanya menuju jalan nan sama-sama baik.

Sama halnya dengan gimana upaya movie ini untuk menyuarakan luasnya perspektif pandang, ada banyak konsentrasi nan bisa menjadi bahan renungan, baik tentang idealisme, tanggung jawab, dan kewajiban, semuanya semestinya bisa seimbang.