First Blood Review: Awal Perjuangan Rambo Menghadapi Trauma Perang 

Sedang Trending 9 bulan yang lalu

Salah satu movie laga paling ikonik dari tahun 80-an adalah “Rambo: First Blood” dan tahun 2022 menandai beredarnya movie ini selama 40 tahun. Diadaptasi dari novel ‘First Blood’ nan ditulis oleh David Morrell, Sylvester Stallone memulai peran ikoniknya sebagai tokoh utama dalam movie ini, John Rambo.

Film nan pertama rilis pada tanggal 22 Oktober 1982 ini disutradarai oleh Ted Kotcheff. Selain Stallone, movie ini juga dibintangi oleh Richard Crenna sebagai Kolonel Trautman nan menjadi mentor Rambo dan Brian Dennehy sebagai Sheriff Teasle.

Kesuksesan “First Blood” memberikan jalan untuk franchise hingga 5 sekuel, serial animasi, remake di Bollywood, hingga video game. Sosok Rambo nan ikonik juga dihadirkan dalam corak karakter DLC beberapa game seperti seri-seri “Call of Duty” dan “Mortal Kombat 11”.

Berlatar di kota Hope, John Rambo menyusuri jalan dengan busana nan lusuh dan melangkah kaki. Sheriff Teasle nan tidak menyukai kehadiran Rambo pun membawanya ke perbatasan kota. Akibat sikap Rambo nan bersikeras untuk kembali ke kota, Teasle menangkapnya. Di instansi polisi, Rambo menerima tekanan dari para polisi nan memicu kembali traumanya sewaktu bertempur di Vietnam. Ia melarikan diri ke rimba dengan para sheriff nan memburunya. Rambo justru membikin mereka kewalahan hingga membunuh salah satu sheriff meskipun tidak sengaja.

Kolonel Trautman tiba dan berupaya menenangkan kedua pihak, tetapi baik Rambo dan Teasle menolak. Garda Nasional sempat memojokkannya di gua jejak tambang, tetapi Rambo sukses selamat, membajak truk berisi amunisi, mencuri senapan mesin, dan membikin kekacauan di kota. Sempat beradu tembak, Rambo sukses memojokkan Teasle dan bersiap membunuhnya. Akan tetapi, Trautman sukses meyakinkan Rambo sehingga dia pun menyerahkan diri.

first blood 1982

Veteran Perang nan Mematikan dan Bermasalah dengan Trauma

“First Blood” tidak hanya menyajikan adegan-adegan laga nan berkesan dari era 80-an, tetapi juga problematika veteran perang dengan pengalaman traumatisnya. Dengan kontroversi seputar perang Vietnam nan baru saja terjadi, industri movie Hollywood turut mengangkat peristiwa sejarah ini sebagai latar dalam beberapa produksinya.

“First Blood” berupaya menampilkan kesulitan nan dialami dari perspektif pandang salah satu veterannya. Dengan konsep one man army, Rambo mewakili konsep cerita veteran dengan keahilan militer tinggi nan berupaya menjalani kehidupan normal. Konsep ini juga dipakai oleh tokoh utama dalam film-film lain, misalnya John Matrix (Arnold Schwarzenegger) dalam “Commando” (1985), Chance Boudreaux (Jean-Claude Van Damme) dalam “Hard Target” (1995), Jack Reacher (Tom Cruise) dalam “Jack Reacher” (2012), dan Robert McCall (Denzel Washington) dalam “The Equalizer” (2014).

Dari segi akting, Stallone menyadari penjiwaan seorang tentara tidak hanya terlihat dari badan nan kekar dan perangai nan tegar. Ia juga sukses menyajikan beberapa wajah lain dari Rambo nan menanggung masa lalunya nan traumatis. Rambo nan marah lantaran masyarakat justru tidak menuduhnya sebagai penjahat perang. Rambo nan depresif setelah mengingat pengorbanan teman-temannya di Vietnam. Pengucapan dialognya juga sesekali terdengar tidak jelas lantaran style bicara nan seolah menyeret ini justru menjadi karakter unik aktingnya.

Para sheriff ditampilkan sebagai figur antagonis nan arogan dan nirempati terhadap kondisi Rambo. Brian Dennehy sebagai antagonis utama bagi Sheriff Teasle tidak langsung memusuhi Rambo, tetapi dia bisa memandang perkembangan karakter nan signifikan dengan kematian rekannya nan memicu motif balas dendam.

Garda nasional juga ditampilkan sebagai prajurit nan justru kekanak-kanakan dan membangkang sehingga Rambo terlihat lebih ideal lantaran loyal dengan rekan dan atasannya. Richard Crenna sebagai Kolonel Teasle bisa menampilkan pihak penengah nan tegas sebagai pemimpin, tetapi juga menunjukkan sisi lembutnya lantaran terhubung dengan trauma nan dialami oleh Rambo.

rambo first blood

Laga nan Berpadu dengan Horor Ala Medan Perang

Perpindahan antaradegan terasa kurang menyatu secara natural selayaknya sinematografi era 80-an. Adegan perkelahian di instansi polisi juga terlihat kurang rapi, tetapi pertempuran gerilya di rimba bisa memberikan kesan terbaik. Latar rimba basah nan gelap mendukung kesan menegangkan. Alih-alih mengandalkan laga dengan perkelahian nan sengit dan ledakan-ledakan, suasana nan dibangun di rimba nyaris membawa movie ini ke ranah thriller.

Rambo dengan strategi gerilya seolah menjadi sosok hantu nan menakut-nakuti polisi, memberikan jebakan nan tidak diduga, dan membawa seram selayaknya berada di medan perang. Scoring dengan tempo nan stabil turut membangun suasana nan mendebarkan dan bisa mengikuti segmen Rambo ketika mengintai dan menyerang musuhnya. Ledakan dan huru-hara di kota menjadi penutup laga nan sesuai untuk kisah Rambo.

Film ini mengalihkan rumor seputar kesalahan Amerika dalam perang Vietnam menjadi topik seputar kepedulian dan patriotisme terhadap veteran perang. Jika ada nan disalahkan, adalah pemerintah nan membikin kebijakan untuk pergi berperang. Rambo seolah menjadi pembelaan bagi para prajurit nan berada di garis depan dan mengorbankan dirinya hanya lantaran menjalankan perintah dan memihak negaranya.