Kebangkitan Era Serial Adaptasi Video Game yang Berhasil

Sedang Trending 7 bulan yang lalu

Film dan serial penyesuaian video game telah mempunyai stigma di skena budaya pop mainstream selama beberapa dekade. Tak peduli seberapa sukses dan populernya video game, ketika ada pengumuman adaptasi live action maupun animasinya, tak sedikit nan langsung skeptis apalagi dari kalangan fans game-nya sendiri. Sementara audience umum sudah merasa ter-gatekeeping duluan lantaran tidak pernah memainkan game-nya.

Cultura sebelumnya juga pernah membahas “Tren & Kegagalan Adaptasi Video Game Dalam Industri Film”. Mulai dari komposisi substansi plot dari materi sumber hingga pemilihan sutradara menjadi beberapa masalah kenapa proyect penyesuaian video game bisa gagal.

Mulai dari “Mortal Kombat: Annihilation” (1997), “Lara Croft: Tomb Raider” (2001) hingga “Resident Evil” (2002), dan tetap banyak judul-judul klasik lainnya, tak bisa memuaskan fans game maupun mengundang rasa penasaran penonton umum.

Tak hanya judul-judul lama, adapun beberapa titel terbaru seperti “Resident Evil: Welcome to racoon City” (2021) serta serial “Resident Evil” Netflix nan di-bully oleh media lantaran kualitas produksi dan ceritanya nan tetap jauh dari standar layak untuk ditonton.

Namun, memasuki era 2020-an, kita mulai menemukan beberapa serial penyesuaian video game nan mengundang antusiasme tinggi. Mulai dari “Arcane” hingga “The Last of Us”, gimana sebetulnya formula nan betul dalam menciptakan serial penyesuaian video game nan berhasil?

Film & Serial Terbaru di Netflix (November 2021)

Arcane

Arcane: Animasi Artistik nan Dikerjakan dengan Serius untuk Segmentasi Umum

Tidak ada nan terlalu peduli dengan lore “League of Legends” (LoL) hingga “Arcane” dirilis. Namun, permintaan agar Riot Games menciptakan serial animasi untuk game multiplayer online battle arena (MOBA) populernya tersebut sudah muncul sejak lama. Hal ini dikarena LoL terus meningkatkan kualitas video promosi mid season, champion trailer terbaru, hingga video klip untuk world theme song mereka setiap tahunnya. Pada titik ini, sangat mungkin banyak fans LoL nan hanya menikmati sajian musik dan animasi promosi mereka saja, meski tidak memainkan game-nya.

Sebelum terkenal melalui “Arcane”, Jinx sudah menjadi champion nan terkenal di kalangan umum lantaran dia dipromosikan dengan theme song dan video klip-nya sendiri, “Get Jinxed”. Kemudian ada K/DA, dimana Riot “tak sengaja” menciptakan fandom baru hanya dari proyek video musik untuk mempromosikan skins champion terbaru nan terinspirasi dari K-pop idol. Dari beragam proyek artistik nan dirilis, bisa dilihat bahwa semesta LoL bisa memikat segmentasi nan lebih luas, tak hanya para gamers saja.

“Arcane” merupakan serial penyesuaian game nan dikembangkan secara serius sebagai karya animasi. Lebih dari sekedar fanservice nan prematur untuk keuntungan instan, terlihat gimana upaya Riot untuk memperlakukan “Arcane” sebagai project animasi nan terpisah dari game-nya. Karena LoL sendiri bukan story-based video game.

“Arcane” season pertama nan rilis pada November 2021 kemarin saja belum menunjukan potensi laga maksimalnya. Karena lebih konsentrasi pada character building dari karakter-karakter utama di Zaun dan Piltover (salah satu region dalam semesta LoL), mulai dari Jinx, Vi, Caitlyn, serta Jayce dan Viktor nan apalagi belum mempunyai bentuk seperti champion-nya dalam game.

Baru pada part penutup mulai ada teasing dari pertarungan dan adu skill dari setiap karakter nan dipresentasikan dengan animasi menawan. Meski belum tamat dan ditutup dengan cliffhanger, serial ini sukses dengan presentasi berkualitasnya untuk kita menanti season berikutnya.

Kelebihan “Arcane” adalah serial penyesuaian ini diciptakan tak hanya untuk para gamers, namun untuk fans animasi secara umum. Mungkin penonton baru akhirnya malah tertarik untuk mulai main “League of Legends” lantaran memandang tindakan keren dari setiap karakter dalam serialnya. Tak hanya ciptakan proyek artistik nan berbobot sebagai seni, lagi-lagi Riot Games melakukan promosi pandai untuk menggaet pemain baru.

 Edgerunners

Netflix

Cyberpunk: Edgerunners – Meminjam World-Building sebagai Medium Cerita nan Baru

Sebelum dikembangkan menjadi video game oleh CD Projekt Red, “Cyberpunk” adalah permain tabletop role-playing berlatar di semesta dystopian science fiction buatan Mike Pondsmith. Sama dengan video game “Cyberpunk: Edgerunners”, secara teknis Netflix Original “Cyberpunk: Edgerunners” merupakan serial animasi nan terinspirasi oleh semesta buatan Pondsmith tersebut.

Serial penyesuaian video game ini hanya “meminjam” world-building dalam game sebagai medium cerita baru nan lebih dramatis dan emosional. Meski pada akhirnya serial ini bisa dikategorikan sebagai proyek promosi update terbaru dalam game “Cyberpunk 2077”.

Jika dalam video game-nya pemain diberi kebebasan untuk menciptakan karakternya sendiri, begitu pula kebebasan tersebut diilhami oleh Bartosz Sztyber, Jan Bartkowicz, dan Lukasz Ludkowski sebagai penulis cerita, nan kemudian dikembangkan menjadi naskah oleh Masahiko Otsuka. Berlatar di Night City, cerita konsentrasi pada David, nan setelah mengalami tragedi berhujung di jalanan. Bertemu dengan teman-teman baru dan memutuskan untuk menjadi edgerunner.

Tak lebih dari meminjam world-building, “Cyberpunk: Edgerunner” menjadi animasi nan sukses menyentuh hati penontonnya lantaran setiap seniman nan terlibat dalam proyek imajinatif ini mengerjakan segalanya dari nol. Terutama dalam menciptakan penokohan, kreasi karakter, cerita, hingga produksi animasi 2D-nya nan sangat menawan. Kemudian ditambah dengan musik latar dan soundtrack nan semakin menghidupkan arch David di Night City nan keras dan penuh kebrutalan. Namun, tetap ada sirat kemanusian dalam setiap manusia nan secara perlahan dilahap oleh cybernetic.

 Bloodline

Netflix

Tekken: Bloodline – Animasi Martial Arts Maksimal nan Didedikasikan untuk Gamers

“Tekken” merupakan video game bergenre fighting paling terkenal dan tetap eksis hingga saat ini. Video game ini juga telah mencoba menyajikan beragam movie adaptasi, baik animasi maupun live-action. Mulai dari “Tekken: The Motion Picture” (1997), “Tekken” live-action Hollywood pada 2009, “Tekken: Blood Vengeance” (2011), hingga live-action Jepang “Tekken 2 Kazuya’s Revenge” (2014). Dari semua judul-judul tersebut, tidak ada nan cukup sukses untuk menarik minat penonton umum maupun membanggakan fans video game-nya.

Ketika para fans berekspektasi “Tekken: Bloodline” bakal kembali mengecewakan, serial penyesuaian video game ini akhirnya memberikan apa nan selama ini diharapkan oleh para gamers; showcase pertarungan seni bela diri nan worth to watch.

“Tekken: Bloodline” menjadi sajian nan lebih memilih untuk berpihak pada fans video game-nya untuk argumen terbaik. Jujur saja lore “Tekken” tidak terlalu menarik, daya tarik utama fighting game ini memang pada kreasi karakter dan skill feature setiap karakter nan diadaptasi dari pengetahuan bela diri sesungguhnya.

Akhirnya, “Tekken” mempunyai untuk tunduk pada naskah dan plot nan sederhana. Kemudian diakselerasi dengan aplikasi jurus hingga combo pada setiap segmen berkompetisi seperti dalam game-nya. Didukung dengan eksekusi animasi dan pengaruh nan mengadaptasi aktivitas dalam game. Kemudian didukung dengan musik latar dan sound effect agar lebih mantap.

The Last of Us – Proyeksi Video Game ke Media Serial nan Lebih Sinematik dan Emosional

“The Last of Us” menjadi serial penyesuaian video game paling terkenal saat ini. Telah memasuki bagian 6 pekan lalu, serial ini telah menunjukan kualitas konsisten sebagai serial HBO nan berbobot dan bikin penonton tak sabar menanti bagian terbaru setiap minggunya. Berbeda dengan penyesuaian video game lainnya, serial ini mendapatkan antusiasme tinggi dari penonton umum maupun fans game-nya.

Pertama, HBO setidaknya mempunyai pamor sebagai penghasil banyak serial-serial berkualitas, terutama dalam segi produksi. Kedua, keterlibatan Neil Druckmann sebagai penulis naskah dan sutradara (bersama Bruce Stanley). Neil Druckmann juga penulis cerita original dari game survival adventure nan dikembangkan oleh Naughty Dog ini.

 Kin

Cr. HBO

Dengan sang ayah nan tetap terlibat dalam produksi serial adaptasinya, “The Last of Us” menjadi suguhan nan setia pada materi sumbernya. Namun, nan membikin serial ini melampaui ekspektasi semua orang adalah gimana Druckmann menggunakan kesempatan ini untuk menyajikan lebih banyak cerita nan tidak bisa dia eksplorasi dalam video game-nya. Dimana game pastinya lebih konsentrasi pada perspektif Joel dan Ellie sebagai dua karakter utama. Akhirnya menciptakan serial nan kaya cerita, bisa memikat segmentasi umum juga memberikan kejutan sekalipun pada gamers nan sudah tahu jalan ceritanya.

Sejak bagian pertama hingga keenam, kita bisa memandang kisah-kisah emosional dari setiap karakter dalam “The Last of Us”. Ada kisah tentang kehilangan, pengorbanan, cinta, hingga harapan.

Baik video game dan serialnya, “The Last of Us” merupakan aliran adventure survival nan lebih mengangkat unsur kemanusian. Berbeda dengan cerita survival lainnya nan lebih konsentrasi pada kekacauan, segmen laga heroik, dan mengeksploitasi sosok monster nan menjadi satu-satunya sumber teror.

Itu tadi sederet formula nan menjadi kunci keberhasilan serial penyesuaian video game. Ada nan setia dengan materi sumber, menargetkan segmentasi nan lebih luas, alias mengakselerasi materi nan sudah ada.

Tidak semudah penyesuaian film/serial penyesuaian kitab alias komik, mengadaptasi video game adalah proyek penyesuaian nan lebih kompleks dari kelihatannya. Hanya bisa sukses alias kandas total.