Ketika Film Indonesia Angkat Topik LGBT

Sedang Trending 6 bulan yang lalu

Perilisan movie coming of age lokal “Dear David” pada awal 2023 sempat membikin jagat maya Indonesia ramai lagi membicarakan rumor LGBT nan semakin sering kita temukan dalam film-film lokal. (Spoiler Alert!) Padahal porsinya sangat sedikit dan sangat subtle penyampaiannya, dalam “Dear David”, dikisahkan Dilla (Caitlin North Lewis) rupanya selama ini menyimpan kesukaan pada Laras (Sheina Cinnamon), sahabatnya.

Setiap kali ada film bermuatan LGBT, masyarakat kita paling sigap memberikan tanggapan. Baik nan positif, dan sayangnya lebih banyak nan reaksinya negatif apalagi menghujat. Meski tampaknya baru ramai belakangan ini, sebetulnya movie Indonesia bermuatan LGBT sudah lama menjadi bagian dalam sinema Indonesia.

Film LGBT Indonesia di Perfilman Lokal Sudah Ada Sejak Era 80an

Pada era 80an, “Istana Kecantikan” merupakan movie bermuatan LGBT nan disutradarai oleh Wahyu Sihombing dan ditulis oleh Asrul Sani. Dibintangi Nurul Arifin sebagai Siska, dia dihamili oleh Sumitro (August Melasz) nan tidak mau bertanggung jawab. Sumitro pun mempertemukan Siska dengan Niko (Mathias Muchus) nan sukarela menikahi Siska lantaran argumen pribadi.

Setelah menikah, Siska pun menemukan kebenaran bahwa pernikahan mereka untuk menyembunyikan kebenaran bahwa Niko adalah gay nan bercintaan dengan Toni.

Meski bermuatan LGBT, nyatanya “Istana Kecantikan” tetap menuai respon positif dari media dan panggung seni pada masanya. Terbukti dengan masuknya movie ini dalam 6 nominasi Festival Film Indonesia (FFI) pada 1988, termasuk kategori Film terbaik. Sementara tokoh Mathias Muchus dinobatkan sebagai Aktor Terbaik FFI tahun itu berkah penampilannya sebagai karakter gay.

Apa nan Membedakan Film LGBT Indonesia dengan Film LGBT Internasional

Memasuki era 2000-an, Indonesia juga banyak memproduksi film-film dengan selipan muatan LGBT. Baik sebagai topik hingga bentrok utama dalam movie maupun sekadar gimmick. Contohnya saja dalam movie “Kala” (2007) nan disutradarai Joko Anwar, Eros nan diperankan oleh Ario Bayu dalam movie ini adalah polisi nan menyembunyikan jati dirinya sebagai gay. Meski secara keseluruhan plot Eros sebagai seorang gay tidak terlalu signifikan pada plot utama.

Kemudian ada “Detik Terakhir” (2005) nan dibintangi oleh Cornelia Agatha sebagai Regi, anak orang kaya nan kekurangan kasih sayang dan tak pernah bahagia. Ironisnya, senang mulai dia dapatkan ketika mulai mengkonsumsi obat terlarang nan juga menjadi penghancur kehidupannya.

Film ini juga sempat mengundang kontroversi di media lantaran Cornelia Agatha beradu akting dengan Sausan Machari sebagai pasangan lesbian. Padahal movie “Detik Terakhir” topik utamanya bukan kisah cinta antara Regi dan Vela, namun lebih tentang gimana obat terlarang merusak kehidupan mereka nan semestinya bisa diisi dengan kebahagian sejati.

Jika bicara tentang topik LGBT, masyarakat Indonesia secara umum lebih banyak merujuk orientasi seksual, kemudian berkembang pada rumor perzinahan, pergaulan bebas, dan hal-hal negatif lainnya. Karena inilah stigma tentang LGBT nan tersebar di masyarakat kita. Padahal topik LGBT tak selalu tentang cinta dan orientasi seksual, namun juga tentang jati diri dan pergolakan identitas pribadi.

Banyak movie Hollywood dan internasional bertema LGBT nan lebih terkenal apalagi di skena organisasi penikmat movie Indonesia. Film-film seperti “Brokeback Mountain” (2005), “Call Me by Your Name” (2017), hingga “Blue Is the Warmest Colour” (2013) adalah movie bertema LGBT nan lebih konsentrasi pada romantisme dari percintaan sesama gender.

Padahal jika mau disandingkan dengan film-film tersebut, sineas Indonesia sudah mawas diri untuk tidak terlalu romantisme konten ini. Karena perjuangan sesungguhnya nan dialami oleh para kaum LGBT di Indonesia adalah dilema dalam menerima keadaan mereka sendiri, apalagi belum sampai pada fase menjalin hubungan cinta dengan beragam sekuen mesra-mesraan seperti nan kita lihat di Hollywood.

Illustration: Cultura

Film Indonesia dengan Topik LGBT nan Sesuai dengan Realita di Masyarakat Lokal

Contohnya saja pada film “Arisan!” (2003), Sakti nan diperankan oleh Tora Sudiro adalah gay berdarah Batak dan merupakan anak satu-satunya dari keluarga. Dengan ekspektasi untuk melanjutkan keturunan, Sakti diperlihatkan mengalami kesulitan menerima orientasi seksualnya sendiri. Berharap bisa “sembuh” dengan pergi ke psikiater. Hal ini nan dijadikan topik utamanya, bukan romantisme hubungannya dengan Nino (Surya Saputra).

Kemudian ada “Kucumbu Tubuh Indahku” (2019) nan tetap cukup segar diingatan. Ironis gimana movie Garin Nugroho nan dinobatkan sebagai Film Terbaik di FFI 2019 menerima kecaman hingga gugatan melalui petisi, tanpa diberi kesempatan komersial nan lebih layak di bioskop lokal. Padahal movie ini mempunyai topik menarik tentang seorang penari Lengger Lanang dari Banyumas. Judul movie ini sebetulnya mempunyai filosofi nan puitis. ‘Tubuh’ nan dimaksud dalam movie ini adalah ‘kehidupan’, sementara ‘cumbu’ adalah ungkapan hiperbola gimana protagonis mengilhami dan mengalami hidupnya.

Ulasan movie Lovely Man

Karuna Pictures

Kemudian ada satu lagi movie terbaik Indonesia nan patut dibahas adalah “Lovely Man” (2011). Dibintangi oleh Donny Damara sebagai Syaiful, waria nan merantau ke Jakarta. Jika masyarakat kita berbicara LGBT bukan bagian dari kehidupan kita, apa mereka tidak pernah memandang waria nan suka mangkal di bawah jembatan ibu kota di malam hari? Waria juga masuk dalam organisasi LGBT nan tetap sering kita temukan di sudut-sudut kota.

Masalah nan kerap muncul adalah gimana masyarakat umum menganggap bahwa film-film ini hendak mengkampanyekan LGBT. Padahal substansi LGBT dalam film-film lokal mempunyai topik nan lebih menarik untuk menimbulkan obrolan bakal topik ini daripada hanya romantisme belaka.

Ibarat movie “Joker” (2019) adalah tentang korban sistem nan akhirnya menyerahkan diri pada kehancuran dan kekerasaan, apa lantas movie tersebut mengkampanyekan kekerasan? Tidak demikian, bukan? Film adalah media seni, film-film nan tayang dibioskop juga mempunyai rating usia. Dengan begitu, diharapkan penonton dewasa bisa bijak sendiri dalam menanggapi muatan moral nan terkandung dalam film.

Dikecam Masyarakat, Tetap Berjaya di Festival dan Acara Penghargaan

Kembali lagi pada kebenaran paling mendasar; movie adalah media seni. Layak mendapat apresiasi jika bisa sajikan naskah, eksekusi visual, dan penampilan akting nan berbobot dan bisa menggugah penikmat film. Banyak dari film-film Indonesia bermuatan LGBT ini menunjukan prestasi sebagai karya seni film.

Mulai dari “Istana Kecantikan” nan telah disebutkan prestasinya di FFI 1988. Kemudian “Detik Terakhir” juga masuk dalam 6 nominasi FFI 2005, dengan Cornelia Agatha nan dinobatkan sebagai Aktris Terbaik.

Film “Arisan!” dan “Kucumbu Tubuh Indahku” juga dinobatkan sebagai Film Terbaik di FFI pada tahunnya masing-masing. “Lovely Man” juga sempat menjadi movie nan dikecam oleh organisasi masyarakat lokal, padahal movie ini telah menuai banyak prestasi. Donny Damara sebagai pemeran utama dinobatkan sebagai Aktor Terbaik pada FFI 2011.

Sementara di kancah internasional, movie ini sukses membawa pulang beberapa penghargaan dari Asian Film Awards. Donny Damara mendapat penghargaan Best Actor, sementara sutradara Teddy Soeriaatmadja masuk nominasi Best Actor.

Hanya lantaran mempunyai muatan LGBT, film-film terbaik Indonesia ini tidak mendapatkan publikasi mengenai kualitas dan potensi sesungguhnya. Ironis saja memandang film-film terbaik kita justru tidak mendapatkan apresiasi nan maksimal di negaranya sendiri. Kita semua pastinya mau perfilman Indonesia juga berhasil dipanggung-panggung internasional, namun sebelum itu negara kita sendirilah nan kudu memberikan apresiasi pada film-film dengan topik-topik berani ini.