Mendaki gunung bukan destinasi favorit saya dalam bervakansi. Pertama, udaranya dingin. Kedua, mendaki gunung adalah pekerjaan melelahkan. Harus melangkah berkilo-kilometer sebelum mencapai tujuan. Namun kawan saya meyakinkan, jika pergi ke Baduy saja bisa apalagi mendaki gunung? Akhirnya diputuskan pendakian ke Gunung Papandayan.
Tentu adalah argumen dalam memilih Gunung Papandayan nan terletak di Garut, Jawa Barat ini. Papandayan dikenal sesuai untuk pendaki pemula. Jalur pendakiannya tidak terlalu panjang. Memang tetap menguras tenaga lantaran suhunya nan dingin. Ada beberapa tanjakan nan cukup terjal. Namun poin tambahannya adalah kita takkan kekurangan makanan.
Berkumpul setelah bermohon bersama
Ini lantaran di sepanjang jalur pendakian ada banyak penjual makanan. Hal itu membikin banyak pendaki gunung menyebut pendakian di Gunung Papandayan tergolong mewah. Karena itulah, saya dan sembilan kawan lainnya berkendara dari Jakarta sekitar lima jam untuk mencapai Garut. Kemudian kami mencapai pos untuk bayar tiket masuk, tiket berkemah, tiket mobil, dan izin untuk mendapatkan sertifikat mendaki.
Pendakian dimulai dengan pemandangan nan sangat indah. Kawah Gunung Papandayan terletak di sebelah kiri kami. Kami melangkah pada anak tangga nan disusun dari bebatuan curam. Aroma belerang tercium menyengat. Ada beberapa titik asap nan keluar dari kawah. Tak lama kami pun beristirahat di sebuah saung. Warungnya menjual semangka nan baik untuk mengatasi dehidrasi lantaran mengandung banyak air.
Jalur Berbatu
Setelah itu jalur silih berganti baik melandai, menanjak, maupun menurun. Tips bagi pendaki pemula adalah tidak mudah menyerah. Kalaupun merasa berat alias susah, jangan lupa bahwa langkah kita bakal memengaruhi tim. Untunglah teman-teman saya sabar membantu.
Ada dua pos nan dapat dipilih untuk bermalam. Pos Goberhut tempatnya lebih sempit, hanya cukup untuk 10 tenda. Sementara Pos Salada bisa untuk bermalam ratusan tenda sekaligus. Kami memilih bermalam di Pos Salada. Namun tak mudah untuk mencapai tempat itu. Sampai mentari terbenam kami tetap terus berjalan.
Pemandangan menjelang malam
Malam datang dan tiap langkah kami hanya diterangi senter. Begitu tiba kami langsung berbagi tugas. Anggota laki-laki mendirikan tenda sementara personil wanita memasak. Malam semakin kelam dan udara semakin dingin. Sebenarnya kami berambisi dapat memandang Bima Sakti. Namun apalagi busana lima lapis tetap tidak cukup menahan dinginnya udara di gunung. Padahal kami telah duduk mengelilingi api unggun dan bercengkerama.
Salah satu tips untuk mendaki Gunung Papandayan adalah berhati-hati setelah makan. Sisa makanan kudu dibereskan. Ada banyak babi gunung nan senang menyantap sisa makanan pendaki. Dikhawatirkan mereka justru mengacak-acak tenda pendaki juga. Karena itu selesai makan semua kudu dirapikan agar tidak memancing mereka datang.
Mengumpulkan daya sebelum melanjutkan perjalanan ke Tegal Alun
Matahari membangunkan kami. Hari itu kami bakal melanjutkan perjalanan ke puncak Gunung Papandayan, Tegal Alun. Kami tidak makan dengan buru-buru. Suasana itu kudu dinikmati lantaran belum tentu bakal terulang lagi. Udara nan sejuk, pemandangan nan indah, ditambah suasana nan tak ditemui sehari-hari bakal sangat terkenang.
Akhirnya perjalanan ke Tegal Alun dimulai. Jalurnya cukup susah dilalui lantaran berpasir dan berkerikil sehingga licin. Kadang saya terjatuh ketika melangkahkan kaki. Namun saya tidak mau menyerah alias merasa marah. Tidak apa-apa, ini pengalaman indah. Akhirnya sampailah kami di Tegal Alun.
Ladang Edelweiss
Puncak gunung ini begitu elok lantaran dihiasi ladang kembang Edelweiss terbesar di Asia. Edelweiss biasanya datang setelah musim hujan berhujung sehingga sinar mentari bercahaya lebih intens. Kurang lebih di Bulan April hingga September. Namun saat kami singgah, ialah di Bulan Juli, tidak banyak kembang Edelweiss nan dapat terlihat. Tapi tidak apa lantaran ini sudah cukup memuaskan rasa penasaran kami.
Terimakasih teman-teman nan saling membatu dan mengulurkan tangan
Pada perjalanan pulang kami melalui rute nan melewati rimba mati. Kami dapat memandang Pohon Cantigi nan tingginya melampaui tubuh manusia. Namun kami merasa seakan pohon-pohon ini hidup. Kami melangkah melaluinya dan berpegang padanya. Meskipun terlihat gersang tapi ini adalah tempat nan unik. Maka berakhirlah perjalanan kami dalam mendaki Gunung Papandayan.
Baca Juga Cerita Travel Lainnya: