Film riwayat hidup alias biopik merupakan aliran movie nan selalu trending di skena mainstream. Selain menjadi komoditas intermezo nan hype, movie biopik juga bisa menjadi media bermuatan sejarah informatif dan memberikan penonton pemahaman hingga pencerahan bakal publik figur nan inspiratif.
Tak sedikit pula movie dalam aliran ini nan ditujukan sebagai tribute, merayakan kehidupan tokoh tersebut. Lebih dari sekadar mengangkat kehidupan pribadi publik figur, sutradara kudu mempunyai visi dan misi nan jelas ketika memutuskan untuk menciptakan movie biopik.
Apa semua biopik sama saja? Selama ini setidaknya ada dua perspektif nan digunakan oleh filmmaker ketika mengembangkan movie biopik. Dua jenis biopik nan bakal kita telaah kali ini adalah movie biopik portrait dan movie biopik impresionisme.
Ibarat filmmaker adalah pelukis nan hendak melukis publik figur dalam film; portrait menjadi upaya untuk mencapai kecermatan dengan materi sumber, sementara impresionisme adalah movie berasas impresi individual seorang filmmaker bakal tokoh nan menjadi sumber inspirasinya.
Film Biopik dengan Materi Portrait Perjalanan Hidup Publik Figur
Pertama, jenis naskah movie biopik nan paling standar adalah nan mengeksplorasi perjalanan hidup publik figur. Bisa dimulai dari masa mini karakter alias pada titik manapun dalam kehidupan mereka; dari ketika mereka tetap bukan siapa-siapa, hingga akhirnya menjadi sosok nan terkenal. Bahkan ke fase selanjutnya jika penulis naskah juga mau mengekspos masa kejatuhan dari seorang tokoh.
Sutradara bisa juga sangat terobsesi dengan kecermatan dan kemiripan setiap momen dalam filmnya, meskipun pasti tetap ada nan dramatisir. Plot nan disajikan biasanya juga kronologis. Benar-benar seperti memandang perjalanan hidup tokoh nan sedang kita tonton dalam film.
Gangubai Kathiawadi
Contoh dari movie biopik dengan plot perjalanan hidup publik figur diantaranya adalah “Elvis” (2022), “Bohemian Rhapsody” (2018), “King Richard” (2021), “Gangubai Kathiyawadi” (2022) dan ‘Habibie & Ainun Series’.
“Elvis” merupakan movie biopik ambisius dari Baz Luhrmann, dimana dia berupaya merangkum kehidupan King of Rock and Roll, Elvis Presley dari mini hingga akhir hayatnya dalam movie berdurasi 1 jam 39 menit. Cukup serupa dengan movie biopik musisi legendaris, “Bohemian Rhapsody” nan menyajikan kronologi karir Freddie Mercury, gimana karirnya terus menanjak, ketika kehidupan pribadinya semakin memburuk.
Kedua movie ini mendapatkan pujian tinggi berkah presentasi bintang utamanya, Rami Malek sebagai Freddie Mercury, dan Austin Butler sebagai Elvis Presley. Dimana tak hanya bisa capai berkah keahlian akting, berikan juga apresiasi pada makeup, wardrobe, dan kreasi produksi secara keseluruhan.
King Richard (Warner Bros.)
Kalau di Indonesia sendiri, penampilan Reza Rahadian sebagai mendiang B.J. Habibie menjadi penampilan biopik nan paling menuai banyak pujian. Karena meski tokoh ini tidak mempunyai kesamaan bentuk dengan Habibie, dia bisa menirukan gesture, ekspresi wajah, hingga langkah berbincang nan sama dengan mantan Presiden ke-3 Indonesia tersebut.
Film ‘Habibie & Ainun Series’ juga sajikan plot runtutan dari hubungan Habibie dengan istrinya, Hasri Ainun Besari, sekaligus karir Habibie secara keseluruhan.
Film Biopik Portrait nan Fokus pada Peristiwa Terpenting
Kedua, tetap dalam pendekatan portrait, namun lebih konsentrasi pada peristiwa paling krusial dalam kehidupan karakter nan hendak diangkat. Biopik seperti ini juga sangat menjunjung tinggi kecermatan lantaran mempunyai misi untuk mencerahkan dan menginspirasi penonton dari kisah nyata seorang publik figur.
Contoh pertama adalah “The Imitation Game” (2014) nan dibintangi oleh Benedict Cumberbatch sebagai Alan Turing. Film nan disutradarai oleh Morten Tyldum ini konsentrasi setidaknya konsentrasi pada dua momen krusial dalam hidup Turing. Ketika dia mulai bekerja sebagai tim unik pemecah kode enigma Jerman pada Perang Dunia II, serta mengeksplorasi orientasi seksual Turing di masa remajanya.
Itu kenapa aplikasi flashback sepanjang plot menjadi perihal nan esensial. Dengan begini, kita bisa memahami Alan Turing sebagai seorang penemu nan jenius, sekaligus melihatnya sisi rapuhnya sebagai manusia biasa.
The Imitation Game
Contoh movie biopik serupa nan betul-betul berakibat untuk penonton adalah “The Queen” (2006), dibintangi oleh Helen Mirren sebagai Ratu Elizabeth II ketika sedang menghadapi tantang publik terbesar dalam hidupnya; ketika Diana Spencer meninggal bumi pada 1997.
Hanya dalam satu momen krusial tersebut, penonton diajak untuk memahami bahwa sang ratu Inggris saat itu mempunyai prioritas nan lebih besar daripada meladeni publik nan penasaran dengan reaksinya, ialah lebih konsentrasi pada kedua cucunya nan sedang berkabung.
Contoh movie biopik lainnya dengan konsentrasi plot sama diantaranya ada “Darkest Hour” (2017), “Hidden Figures” (2016), dan “Soekarno” (2013). “Darkest Hour” merupakan biopik Winston Chruchill nan dibintangi oleh Gary Oldman, konsentrasi pada peristiwa Dunkirk pada Perang Dunia II dan gimana Churchill mengambil keputusan krusial demi negaranya.
Begitu pula dengan movie “Soekarno” nan dibintangi Ario Bayu konsentrasi pada peristiwa persiapan deklarasi kemerdekaan dengan Proklamasi pada 17 Agustus 1945. “Hidden Figures” mengangkat kisah tiga tokoh nan tersembunyi dari misi peluncuran roket pertama NASA; Katherine Goble Johnson, Dorothy Vaughan, dan Mary Jackson.
Film Biopik Impresionisme
Film biopik dengan pendekatan impresionisme bisa jadi movie dengan presentasi nan bakal mengejutkan penonton. Baik ketika movie tersebut mempunyai kualitas nan baik, alias justru menjadi musibah sinema. Tak semua sutradara mempunyai obsesi bakal biopik dengan tingkat kecermatan tinggi, beberapa berani menunjukan impresi originalnya bakal sosok publik figur.
Dua movie biopik karya Pablo Larrain merupakan contoh impresionisme terbaik, “Jackie” (2016) dan “Spencer” (2021). Kedua movie ini sama-sama mengangkat kisah tragis dua sosok wanita terikonik nan paling dicintai dalam sejarah, Jacqueline Kennedy, istri John F. Kennedy dan Diana Spencer, istri pertama Raja Charles III.
Namun “Spencer” menjadi contoh paling sempurna untuk movie biopik impresionisme. Pada titik ini, siapa nan tidak tahu perjalanan hidup Diana Spencer. Sudah terlalu banyak movie dan serial nan mengeksploitasi kisah hidupnya dalam format nan sama.
“Spencer” apalagi tidak diadaptasi dari peristiwa nan betul-betul terjadi. Dimana Diana bertolak ke Sandringham House di Norfolk untuk merayakan Natal selama tiga hari berbareng family kerajaan Inggris lainnya, termasuk suaminya, Charles, dan Ratu.
Daripada menyajikan runtutan kehidupan Diana selama menjadi Princess of Wales, “Spencer” hendak menunjukan rasa kesepian, terisolasi, terasingkan, dan terkekang selama Diana menjadi bangsawan. Bagi Larrain, sekuen liburan Natal berbareng family menjadi momen nan tepat untuk mengeksplorasi perasaan-perasaan tersebut.
Film biopik dengan style impresionisme memancarkan kebebasan dari perspektif pandang sutradara. Tak selalu jeli secara sejarah, namun tetap kudu mempunyai visi nan jelas agar tidak kehilangan arah, lantaran impresi orang terkadang bisa salah juga. Contohnya saja seperti “Blonde” (2022). Ana de Armas memang tampilkan akting sempurna sebagai Marilyn Monroe, namun plot lebih didominasi dengan pemanfaatan skandal dan Monroe sebagai objek seksual di mata laki-laki.
Contoh biopik lainnya dengan presentasi impresionisme adalah “Gie” (2005) dibintagi Nicholas Saputra sebagai Soe Hok Gie dan “Steve Jobs” (2015) dibintangi oleh Michael Fassbender sebagai Steve Jobs.
Itu tadi beragam perspektif hingga konsentrasi nan bisa diterapkan dalam movie biopik. Baik biopik portrait maupun impresionisme, keduanya bisa menghasilkan movie nan bagus jika disesuaikan dengan pesan apa nan hendak disampaikan.
Sekarang kita jadi bisa lebih mengerti juga, bukan? Tidak semua movie biopik sama. Tidak sekadar copy paste kisah hidup publik figur dari catatan sejarah sebagai naskah film, kudu ada upaya pengembangan nan berbobot juga dari filmmaker-nya.