Peter Pan & Wendy Review: Neverland Versi Gelap yang Kehilangan Semaraknya

Sedang Trending 4 bulan yang lalu

Disney kembali merilis movie adaptasi live action dari koleksi animasi klasiknya. Kali ini giliran “Peter Pan” (1953) diadaptasi menjadi “Peter Pan & Wendy”, disutradarai oleh David Lowery, dibintangi oleh Jude Law, Alexander Molony, Ever Gabo Anderson, dan Yara Shahidi.

Sebelum animasi klasik ini juga telah diadaptasi versi live action-nya oleh Universal Pictures pada 2003. Dimana menerima ulasan nan cukup positif dengan presentasinya nan magical dan sparkling. Film nan disutradarai P.J. Hogan itu juga dirilis sebagai movie bioskop, sebelum era streaming platform seperti sekarang. Membuat produksinya sangat maksimal dan terlihat megah.

Lantas, apa nan bisa kita harapkan dari “Peter pan & Wendy” jenis Disney+ ini? Melalui sinopsisnya, plot secara keseluruhan tidak mengindikasikan sesutu nan baru. Hanya petualangan seorang bocah nan tidak mau tumbuh dewasa, Peter Pan. Ia berjumpa dengan gadis muda, Wendy, nan lebih memandang romantisme sebagai orang dewasa. Kemudian datang pula Captain Hook nan sudah familiar untuk kita semua sebagai musuh utama Peter Pan dan kawan-kawan.

Peter Pan & Wendy

Kualitas Sinematografi dan CGI nan Gelap dan Tidak Spesial

Kalau bukan lantaran naskah nan dikembangkan, argumen utama kita penonton movie adaptasi live action adalah presentasi produksinya. Penonton penasaran dengan gimana karakter animasi dipresentasikan oleh aktor, rupa Neverland dalam bentuk nan lebih immersive, hingga dramatisir adegan-adegan ajaib seperti terbang dan berkompetisi dalam produksi live action.

Jika mempunyai ekspektasi bakal movie live action dengan visual nan menakjubkan, jangan berambisi banyak dari “Peter Pan & Wendy”.

“Peter Pan & Wendy” mengaplikasikan tema visual nan gelap, semuanya tampak lusuh dan suram. Mulai dari pemilihan colour tone, kreasi properti dan latar, hingga pencahayaan. Terutama pencahayaan, movie ini mempunyai tata sinar nan sangat buruk. Membuat dongeng klasik nan dulunya kita kenal sebagai semesta nan semarak dengan segala kilaunya terlihat redup. Benar-benar bukan movie nan mengundang secara visual. Kualitas pengaruh visual dan CGI-nya juga berbobot rendah. Ada beberapa aplikasi pengaruh dalam segmen nan terlihat murahan.

Peter Pan & Wendy

Naskah Adaptasi nan Tidak Menyuguhkan Cerita Baru

Setidaknya dengan titel “Peter & Wendy” kita mempunyai ekspektasi bakal naskah nan lebih berorientasi pada karakter. Mungkin presentasi penokohan mereka nan lebih mendalam, alias mengeksplorasi latar belakang karakter. Namun plot movie ini sama sekali tidak menyuguhkan materi baru.

Plot secara garis besar tetap sama saja; Peter Pan tidak mau dewasa, Wendy menerima nasibnya sebagai anak nan kudu tumbuh dewasa, dan Captain Hook membenci Peter Pan kemudian mengacau petualangan Peter Pan dengan teman-teman barunya.

Padahal “Peter Pan” sebagai karya dongeng klasik mempunyai nilai filosofi nan tetap bisa dieksplorasi jika hendak di-remake alias diadaptasi ulang. Sayangnya movie penyesuaian live-action kelas B ini jelas tidak memberikan upaya lebih dalam naskah adaptasinya. “Peter & Wendy” hanya penyesuaian “Peter Pan” nan sudah kita ketahui ceritanya dalam level permukaan. Bedanya movie penyesuaian hanya lebih gelap secara visual dan mempunyai cast nan lebih beragam, namun tidak lebih dari itu.

Disney Semakin Berorientasi pada Konten Daripada Karya

Sudah bukan perihal baru lagi bahwa Disney terus melakukan penyesuaian live action selama lebih dari satu dasawarsa kebelakangan. Beberapa sukses dieksekusi dengan baik, namun tak sedikit pula nan hasilnya biasa saja. Ketika Disney+ mulai menjadi pengganti baru merilis movie penyesuaian live action mereka, di sini semuanya mulai mengalami penurunan kualitas.

Pada 2022 lalu, Disney juga merilis movie adaptasi live action, “Pinocchio”. nan membikin kita sedih memandang aktor-aktor besar seperti Tom Hanks, Luke Evans dan Joseph Gordon-Levitt kudu terlibat dengan movie nan dikerjakan dengan separuh hati produksinya. “Peter Pan” apalagi lebih turun lagi kualitasnya dibandingkan dengan movie tersebut, dan sekarang kita kudu memandang Jude Law nan terasosiasi dengan movie berbobot menyedihkan ini.

Pertanyaan nan sama muncul setelah memandang movie penyesuaian live action seperti “Pinocchio” dan “Peter Pan & Wendy”; Apa sebetulnya visi dari Disney ketika membikin film-film ini? Tidak ada perubahan naskah nan signifikan dan lebih eksploratif, kemudian dikemas oleh kualitas produksi live action nan berbobot rendah. Kehadiran film-film hanya membikin Disney+ terlihat seperti Netflix, mulai berorientasi pada jumlah konten agar terlihat menggiurkan bagi subscriber streaming platform mereka.

Hanya melalui dua movie live action nan mengecewakan ini saja, sudah mencederai ekspektasi penonton ketika kedepannya bakal ada movie penyesuaian live action di Disney+.

Sebelum mulai merilis movie live action baru, Disney+ kudu kembali mengevaluasi visi mereka dalam menghadirkan katalog platform streaming mereka nan tidak hanya berorientasi pada konten saja. Menyedihkan memandang studio sebesar Disney dengan kredibelitas kualitas karyanya di masa lalu, sekarang mengikuti arus utama untuk lebih berorientasi pada materi daur ulang dan penurunan kualitas karyanya.