Karismatik dan ikonik. Mungkin dua kata tersebut tepat untuk menggambarkan seorang Bramastro Sriehutomo Khaeroni alias nan lebih dikenal dengan Bam Mastro. Bagaimana tidak? Baik di atas panggung maupun di kesehariannya, laki-laki kelahiran tahun 1991 tersebut mempunyai karakter unik tersendiri.
Bam sendiri dikenal sebagai pendiri dan frontman dari sebuah band indie-pop. Didirikan tahun 8 tahun lalu, band tersebut telah menelurkan dua album dan bersiap untuk album selanjutnya.
Di tengah kesibukannya sebagai seorang musisi, Cultura sukses menghubungi Bam untuk mengobrol mengenai kepergian bandnya ke Inggris dan juga persiapan mereka dengan album ketiga nan udah siap dilempar ke pasar.
Baru pulang ya dari London?
Seru banget di sana! Gue tidak merasa seperti ke luar negeri mungkin—karena gue pernah di Australia—jadi pas di London gue merasa seperti di rumah dan orang di sana sopan banget. Gue udah terbiasa dengan orang dari Amerika dan Australia dimana gue merasa kudu mengimbangi attitude mereka, tapi di London tidak seperti itu.
Ngapain aja di sana?
Tujuan utamanya kita manggung di sana, tapi kita juga meeting sama label-label di sana lantaran kita punya representative label juga di London.
Kebutuhan untuk album ketiga? Kapan bakal keluar?
Albumnya harusnya tahun ini, cuman lebih wise untuk dikeluarkan tahun depan. Awal tahun kemungkinan.
Band kalian ke London untuk merekam live stream, apa perbedaannya?
Dari sumber daya manusia beda banget. Gue dulu belajar sound engineering, dan gue menyadari untuk menjadi seorang sound engineering butuh sertifikat. Begitupun untuk nan menjadi kru, walaupun tidak seberat itu. Jadi jelas dari sumber daya manusia di sana lebih matang lantaran mereka sudah belajar bertahun-tahun untuk perihal tersebut dan mereka belajar bukan otodidak tapi secara profesional. Gue ngerasa di Indonesia tetap banyak kesalahan-kesalahan tidak krusial nan sering dilakukan oleh kru panggung, contohnya routing kabel dan genset.
Selain itu?
Ya, di sana mereka tidak memandang band lo besar alias band baru, semua diperlakukan sama. Siapa sih nan tau band kita di sana? Di sana kita hire kru untuk melakukan pekerjaan mereka dan mereka melakukan secara profesional. Di Indonesia tetap sering kru lihat-lihat band. Bahkan era band gue baru muncul, kita sering dipandang sebelah mata sama orang belakang panggung. Jadi kita pernah merasakan ketidakadilan ini. Gue pribadi percaya band-band baru sekarang juga mengalami perihal nan sama. Padahal semestinya kan tidak seperti itu, kru kerja di panggung untuk menyervis band tersebut, mau sekecil apapun bandnya.
Menurut lo output-nya sendiri bakal lebih baik alias gimana?
Hasil dari manggung di London udah kita tonton. Jujur tidak tepat seperti nan gue inginkan kayak, “Wah bagus banget nih,” tapi ini lantaran kita tidak mengkomunikasikan beberapa perihal ke kru sehingga ini terjadi. Mungkin, bakal beda jika kita mengkomunikasikan beberapa perihal krusial tersebut, hasilnya mungkin bakal seperti nan gue inginkan. Cuman dibandingkan output nan biasa gue denger di Indonesia, jauh lebih bagus dan gue percaya kita bisa kok sampai di titik tersebut. Tinggal sumber daya manusianya mau tidak untuk belajar terus.
Untuk terus berkembang mengikuti perkembangan teknologi dan zaman, kita kudu tetap haus bakal info dan pengalaman baru nan menggugah pemikiran nan baru juga. Seperti juga perkembangan di bumi virtual nan semakin lama semakin di luar batas khayalan kita.
Kalau mau dapet pengalaman virtual penuh karya-karya nan menarik dan ekspresif nan belum pernah ditemukan sebelumnya, langsung aja rasakan keseruan-keseruannya di sini.