The Boys: Drama Satir Superhero yang Mendominasi Negara dengan Kapitalisme 

Sedang Trending 1 tahun yang lalu

“The Boys” merupakan franchise superhero nan debut sebagai serial di Amazon Prime Video pada 2019 lalu. Seperti semesta superhero lainnya, serial nan dikembangkan oleh Eric Kripke ini diadaptasi dari komik superhero berjudul sama karya Garth Ennis dan Darick Robertson.

Semesta superhero dewasa ini telah melalui beragam trend pencitraan. Dimana memandang pahlawan berkostum cerah, menyatakan sebagai penjaga umat manusia mulai terasa repetitif dan membosankan. Hingga menimbulkan kepopuleran romantisme pada villain, berupaya memahami mereka dan mendukung pihak nan jahat adalah sesuatu nan edgy dan keren.

“The Boys” menuai kesuksesan lantaran menghadirkan gambaran superhero terbaru di momen nan tepat. Ketika kita mulai jenuh dengan superhero pembasmi alien dan romastime villain. Tidak mengadaptasi dua perspektif tersebut, “The Boys” menghadirkan twist dan cita rasa semesta superhero-nya sendiri.

Serial superhero ini telah memasuki season ketiga dan tetap menuai antusiasme besar dari fandom-nya nan semakin berkembang. Buat nan tetap asing dan heran dengan kesuksesan nan dituai oleh serial ini mungkin sedang bertanya-tanya; apa nan membikin “The Boys” berbeda dengan franchise superhero besar lainnya?

The Boys

Cr. Amazon

Penyalahgunaan Kekuatan dan Kapitalisme oleh Tim Superhero Elit

The Seven merupakan tim superhero elit besutan perusahaan konglomerat, Vought Internasional, nan telah menguasai pasar upaya dan media di Amerika Serikat. Dimana mereka merekrut masyarakat negara nan dianugerahi kekuatan super untuk mendukung keamanan negara. Namun lebih dari sekadar Nick Fury nan membentuk Avengers untuk menyelamatkan dunia, Vought mempunyai prospek nan lebih banyak untuk superhero mereka. The Seven diperlakukan sebagai ‘produk’, tak berbeda dengan perusahan senjata api di Amerika nan menawarkan ‘keamanan’ pada penduduknya.

Dalam “The Boys” kapitalisme atas nama The Seven diperlihatkan secara berlebihan sebagai materi satir. Hampir setiap bungkusan minuman, makanan, merchandise, dan iklan kota didominasi oleh wajah setiap superhero elit dari The Seven. Mereka juga punya reality shows, franchise movie layaknya Marvel Cinematic Universe, dan menghadiri beragam aktivitas publik sebagai bintang tamu.

The Boys Season 1 Review

Penyalahgunaan kekuatan juga menjadi rumor pertama nan hendak ditonjolkan dalam “The Boys”. Dengan pendekatan nan lebih realistis, ada banyak kemungkinan bisa terjadi ketika seseorang alias organisasi mempunyai ‘kekuatan super’ support masyarakat, dan gambaran baik. “The Boys” memilih untuk menampilkan skenario terburuk ketika kekuatan tersebut jatuh di tangan nan salah.

Tak hanya mau menguasai pasar untuk meraup untung materi, Vought juga mengusahakan posisi di bagian negara terkuat, ialah bagian militer. Untuk mencapai sasaran tersebut, Vought melakukan segala cara, apalagi dengan persekongkolan sekalipun. Tak Berbeda dengan politikus negara nan mengandalkan segala langkah untuk mendapatkan kekuasaan dan posisi kuat di lembaga pemerintah negara.

Mendobrak Stereotip Superhero dan Penjahat

Dalam franchise superhero seperti Marvel dan DC, telah terbentuk stereotip superhero dan villain nan sama selama bertahun-tahun. Selalu ada garis tegas antara amal dan kejahatan. Bahwa superhero selalu menjadi pihak nan baik, protagonis nan tumbuh di lingkungan sehat. Sementara villain lahir dari trauma masa mini alias korban kekejaman realita kehidupan nan keras.

Sekalipun hendak memberikan twist dengan romantisme villain (seperti nan dilakukan oleh media terhadap Joker) maupun skenario good girl gone bad (seperti Wanda pada ‘Doctor Strange 2’). Semesta superhero nan kental dengan sentuhan khayalan ini tetap terjebak dengan label superhero dan penjahat nan konvensional.

Bagi “The Boys”, mereka tak perlu mengubah superhero menjadi penjahat dengan skenario downfall nan dramatis. Mengapa tidak membikin ‘superhero’ menjadi penjahat sejak awal? Kemudian ‘penjahat’ sebagai korban penyalahgunaan kekuatan dengan motivasi nan patut mereka perjuangkan. Dalam serial ini, arti ‘superhero’ dan ‘penjahat’ tidak lagi terikat oleh stereotip nan telah ada.

Mengenal Homelander bakal menjadi pengalaman nan sangat menarik bagi kita fans superhero. Homelander adalah pemimpin The Seven, menyatakan dirinya sebagai superhero terkuat sejagat raya. Tampil dengan kostum merah-biru, warna nan biasanya digunakan oleh superhero berkharisma. Seperti Captain America sebagai ikon utama Avengers, alias Superman di Justice League. Namun percayalah, Homelander sangat bertolak belakang dengan setiap superhero bermantel merah nan selama ini kita kenal.

The Boys Season 2 Review

Billy Butcher menjadi pemimpin The Boys, komplotan vigilante nan hendak mengungkapkan kebobrokan The Seven dan Vought lantaran dendam pribadi. Ia juga merekrut timnya sendiri berbareng Hughie, Frenchie, dan MM. Butcher mempunyai penampilan nan lebih memenuhi stereotip penjahat dalam skena superhero mainstream. Dengan karakter wajah nan keras dan busana serba hitam. Tak ada nan tahu sungguh besar rasa cintanya pada sang istri nan menjadi korban dari ketidakadilan Vought.

“The Boys” tak sekadar membikin The Seven menjadi superhero nan didominasi oleh pahlawan bermuka dua. Ada pula karakter seperti Starlight dan Queen Maeve nan tidak menyalahgunakan kekuatan mereka seperti rekan kerjanya. Namun, bukan berfaedah mereka layak mendapat julukan sebagai ‘superhero’.

Keduanya bisa dikategorikan dalam area abu-abu. Dimana mereka sebetulnya tidak melakukan banyak perihal sebagai superhero, mereka hanya terjebak dalam situasi nan rumit dengan beban finansial dari family masing-masing. Menjadi bagian dari The Seven layaknya sumber daya manusia nan hanya mau bekerja di perusahaan besar untuk penghasilan nan tinggi.

Serial Superhero dengan Grafik Vulgar dan Kekerasan Brutal

Bagi nan mau mulai menonton “The Boys”, perlu dicatat bahwa serial ini mempunyai diagram nan vulgar dan segmen kekerasan nan sadis. Konsep segmen pertarungan nan ditampilkan dalam serial ini memperlihatkan skenario terburuk ketika superhero sembarangan menggunakan kekuatannya. Kerusakan tambahan (collateral damage) merupakan realita nan seringkali disingkirkan dalam tindakan superhero mainstream bergenre fantasi. Namun tidak dalam serial dengan segmentasi penonton dewasa satu ini.

Selain segmen kekerasan nan berlumur darah dan patah tulang nan mengerikan, konten seksual dalam “The Boys” juga sangat kuat. Mungkin bakal mengejutkan bagi kita ketika mulai menonton season pertama.

Sejauh ini, “The Boys” tetap menimbulkan antisipasi tinggi di media dengan season terbarunya. Ketiga  seasonnya hanya terdiri dari total delapan bagian dengan lama kurang lebih 50 menit per episodenya. Bisa di-binge cukup sigap buat nan mau terjun dalam euphoria “The Boys” dengan sajian konten superhero nan berbeda dari superhero lainnya.