“The King of Comedy” (1982) merupakan movie Martin Scorsese nan dibintangi oleh Robert De Niro sebagai komedian amatir, Rupert Pupkin. Film mempunyai pengaruh besar dalam movie terbaik Todd Phillips sejauh ini, “Joker” (2019). Jika dibandingkan, keduanya nyaris mempunyai banyak komponen nan sama dalam penokohan protagonis hingga perkembangan plotnya.
Namun, “The King of Comedy” merupakan karya sumber dengan tema nan lebih ringan dan sangat minim kekerasan. Naskah nan ditulis oleh Paul D. Zimmerman ini lebih tepat dikategorikan sebagai movie black comedy.
Rupert Pupkin juga seorang komedian amatir nan bermimpi untuk menjadi terkenal. Ia fans berat dari komedian terkenal, Jerry Langford (Jerry Lewis). Rupert mempunyai angan dan ambisi nan besar untuk bisa tampil di aktivitas talkshow nan dibawakan oleh Jerry Langford. Ketika perjuangannya dikhianati oleh ketatnya patokan bumi showbiz, Ia nekat melampaui pemisah untuk mewujudkan mimpinya tampil di televisi nasional. Karena baginya, lebih baik menjadi raja semalam daripada orang tolol sepanjang hidup.
Lelucon Perjuangan Rupert Pupkin menjadi Komedian Terkenal
“The King of Comedy” mempunyai subjek dan objek nan jelas sepanjang skenario. Rupert Pupkin adalah subjek, sementara Jerry Langford adalah objek dalam cerita. Sejak segmen pertama, kita langsung diperkenalkan pada sosok pembawa aktivitas talkshow kondang nan diidolakan oleh banyak orang. Kemudian muncul Rupert Pupkin dalam kerumunan nan pandai memanipulasi situasi untuk mendapatkan kesempatan bertegur sapa secara individual dengan idolanya.
Hampir selama separuh lama movie bagian awal, hubungan antara subjek dan objek ini terus bersambung secara repetitif. Dimana Rupert terus mendesak untuk berjumpa dengan Langford. Meski diulang-ulang dan cukup bikin kekecewaan penonton, sekuen perjuangan Rupert untuk berjumpa dengan idolanya tersebut mempunyai kronologi nan cukup realistis. Bahwa tidak mudah untuk berjumpa dengan seorang bintang, apalagi mendapatkan waktu individual untuk berbagi karya dan meminta kesempatan tampil di televisi nasional.
Berbeda pula dengan kisah Arthur Fleck dalam “Joker” nan bikin kita simpati dengan protagonis, Rupert Pupkin bisa jadi malah menimbulkan kesan nan sebaliknya. Hal tersebut lantaran kita tidak diajak berkenalan dengan Rupert, kita tidak tahu latar belakangnya, apa urgensinya sehingga Ia sangat berkeinginan untuk menjadi komedian terkenal. Membuat setiap tindakannya tampak sangat menggangu dan lancang. Namun, jika kita bersabar menonton hingga akhir, Rupert Pupkin bakal menyajikan punchline nan mantap untuk mengakhiri “The King of Comedy”.
Hubungan Parasosial Penggemar nan Terobsesi dengan Idolanya
Satu rumor nan menarik untuk disimak dalam movie drama ilmu jiwa ini adalah hubungan parasosial Rupert dan Masha (Sandra Bernhard) pada Jerry Langford. Meski mempunyai latar belakang dan motivasi nan berbeda, keduanya sama-sama mempunyai ilusi bahwa mereka mempunyai hubungan spesial dengan Langford.
Sebagai fans wanita, Masha bergaya seperti kekasih nan dicampakan. Dengan kecenderungan stalking dan meneror Langford. Sementara Rupert lebih dari sekedar bergaya seperti kawan nan sok kenal, namun Ia mau menjadi bagian dalam bumi Langford, bumi showbiz. Obsesi utamanya bukang Jerry Langford, namun Ia mempunyai angan untuk meraih mimpinya melalui pertemanan dengan orang populer. Seperti orang pada umumnya.
Hanya lantaran satu pertemuan, dalam situasi nan tidak sengaja pula, Rupert sudah bergaya menjalin hubungan dengan Langford. Padahal kita bisa memandang bahwa Langford hanya basa-basi, layaknya publik figur nan bertegur sapa dengan penggemarnya. Awalnya kita bakal memandang gimana Rupert melayang-layang dalam ilusi sebagai kenalan Jerry Langford. Ketika kita tidak bisa membedakan apakah Rupert berbual alias bersungguh-sungguh, disitulah salah satu corak ‘komedi’ nan mau disampaikan. Seperti komedi nan kandas mengundang tawa, nan ada malah membuatnya terlihat menyedihkan, disitulah cita rasa black comedy-nya.
Rupert Pupkin dan Masha menjadi dua karakter nan lebih banyak menimbulkan rasa jengkel daripada simpati. Namun, kecenderungan ilusi dan hubungan parasosial nan mereka ciptakan dengan Jerry Langford sangat menarik untuk disimak.
Film Martin Scorsese Paling Underrated nan Sayang untuk Dilewatkan
“The King of Comedy” memang bukan salah satu movie terbaik dari Martin Scorsese. Dibandingkan dengan movie Scorsese lainnya seperti “Taxi Driver” (1976) alias “Shutter Island” (2010), movie klasik satu ini mempunyai naskah nan bisa menimbulkan multitafsir pada penonton. Mungkin tidak sesuai dengan ekspektasi penonton, lantaran Scorsese cukup jarang menerapkan naskah tanpa konklusi nan pasti.
Dimulai dari babak pertama, kita bakal menyadari bahwa segmen dua jenis segmen dalam movie ini. Dimana ada kejadian nan sungguh terjadi dan segmen nan merupakan ilusi Rupert. Dari segi sinematografi, keduanya apalagi tidak diberikan filter nan membedakan antara kedua adegan. Kemudian dijahit dengan rapi oleh editor, Thelma Schoonmaker, sebagai peleburan antara angan dan realita dalam perspektif Rupert Pupkin.
Seiring berjalannya babak demi babak, realita dan ilusi semakin larut menjadi satu. Bukannya beradaptasi dan semakin paham, penonton bakal semakin kesulitan memahami realita dalam skenario movie ini. Pada akhirnya, movie ini seperti bukan tentang akhir alias tujuan nan sukses dicapai. Film seperti lebih menonjolkan kompleksitas rumor nan terjadi di dalam prosesnya; hubungan parasosial, ambisi seorang seniman, dan ketatnya bumi showbiz.
Pada akhirnya, kisah Rupert Pupkin mempunyai akhir nan bisa dimaknai oleh penonton sesuai kepercayaan masing-masing. Hal ini bukan sajian nan biasa kita dapatkan dari Martin Scorsese. “The King of Comedy” sekarang sudah bisa di-streaming di Disney+ Hotstar.