Unicorn Wars Review: Perang Teddy Bear Melawan Unicorn yang Imut Sekaligus Brutal

Sedang Trending 3 minggu yang lalu

Teddy bear dan Unicorn merupakan dua objek nan kerap menjadi simbol dari keimutan. Baik dalam rupa boneka, kesenian visual, hingga animasi anak-anak. Namun tidak untuk teddy bear dan unicorn dalam movie animasi Alberto Vazquez, “Unicorn Wars” nan rilis pada 2022.

Animasi Spanyol ini merupakan animasi dengan konten dewasa. Secara visual cukup mengingatkan kita pada serial animasi gore, “Happy Tree Friends”, namun animasi satu ini mempunyai latar semesta dan plot nan lebih megah. “Unicorn Wars” diproduksi oleh perusahaan animasi GKIDS Films, nan juga memproduksi animasi terbaru Hayao Miyazaki, “The Boy and The Heron”.

Terinspirasi dari “Bambi”, “Apocalypse Now”, dan Kitab Suci, “Unicorn Wars” menceritakan koloni militer teddy bear nan sedang mempersiapkan diri untuk menyerang bangsa unicorn di Magic Forest. Dahulu kala, beruang, unicorn, beserta hewan liar lainnya tinggal di Magic Forest. Namun, setelah beruang menemukan kitab berisi pengetahuan pengetahuan, mereka menjalani hidup dengan lebih beradab dibandingkan hewan-hewan lainnya.

Unicorn nan iri dengan kemajuan kaum beruang pun memulai perang dan mengusir beruang dari Magic Forest. Setidaknya itu nan tertulis di kitab suci kaum teddy bear, menjadi motivasi dari perang nan mereka mulai kembali untuk merebut Magic Forest.

Unicorn Wars

Pesan Anti Perang dalam Kemasan Dongeng Animasi Bernuansa Psychedelic Horror

“Unicorn Wars” dalam segi plot mengingatkan kita pada movie anti perang seperti “Full Metal Jacket”, “Apocalypse Now”, dan “Jarhead”. Namun dikemas dalam animasi bertema imut nan cukup mengalihkan perhatian. Genre seperti ini sebetulnya sudah tidak baru lagi (memadukan keimutan dengan kebrutalan) dan sangat niche.

Plot lebih konsentrasi pada kakak beradik teddy bear berjulukan Bluey dan Tubby, keduanya masuk akademi tentara. Bluey adalah beruang biru berkarakter keras dan penuh dengki lantaran trauma di masa kecil. Sementara Tubby adalah kerabat Bluey nan lebih memeluk keimutannya dan nilai-nilai kebaikan. Menjadi salah satu argumen Tubby kerap dilihat sebagai tentara teddy bear nan lemah.

Bluey, Tubby, berbareng pasukan junior lainnya, dikirim untuk menjalankan misi pertama mereka. Dimana kemudian diisi dengan sekuen tragedi, kesialan, dan cidera nan traumatis.

Seperti movie perang pada umumnya, “Unicorn Wars” hendak mengeksploitasi konten perang nan disturbing, dan semakin terasa disturbing dengan bungkusan animasi imut lantaran terasa ‘janggal’. Visual warna-warni dalam animasi ini bukan melambangkan kecerian, namun horror psychedelic nan membikin mual penontonnya (dalam artian baik dalam konteks animasi dengan konten dewasa).

Unicorn Wars

Ketika ‘Keimutan’ Bukan Tentang Visual Namun Substansi

Meskipun teddy bear dalam “Unicorn Wars” didesain cukup imut secara visual, seiring berjalannya cerita, karakter-karakter imut ini bakal mengalami transformasi persepsi bagi penonton. Mungkin terlihat imut dalam poster, namun bakal terlihat mengerikan pada babak terakhir film. Terutama lantaran presentasi karakter Bluey. Ia mungkin terlihat seperti beruang biru nan imut, namun semakin kita mengenalnya, semakin dia tidak tidak terlihat imut. Mulai dari wataknya, apa saja nan dia lakukan di masa lalu, hingga keputusan nan dia ambil di masa depan.

Begitu pula dengan sosok unicorn dalam movie ini dipresentasikan sebagai hewan nan menyeramkan. tanduknya nan bagus bukan fitur nan anggun, melainkan senjata tajam nan bisa merobek perut lawannya. Ditampilkan sebagai sekelompok unicorn nan arogan dan lebih besar dari teddy bear nan kerdil, memberikan pengaruh mengintimidasi.

Kekontrasan naskah dan visual animasi dalam “Unicorn Wars” lebih dari sekadar aplikasi nan unik, namun mempunyai makna nan cukup mendalam. Bahwa arti dari ‘keimutan’ rupanya tak hanya soal penampilan, namun juga tentang substansi.

Film animasi ini membuktikan bahwa subyek nan menjadi simbol keimutan seperti teddy bear dan unicorn saja bisa menjadi sosok mengerikan nan mulai perang berdarah. Eksekusi ini semakin memperkuat pesan anti perang dalam level pengertian nan lebih mendalam. Ada ironi nan membikin kita semakin merasa tidak nyaman selama menonton animasi ini.

Susunan Plot Acak dan Latar Belakang Unicorn nan Kurang Dieksplorasi

Salah satu kelemahan dalam “Unicorn Wars” adalah susunan plotnya. Ada narasi ala dongeng nan lebih cocok menjadi prolog, namun diselipkan dalam pertengahan plot begitu saja. Adapula beberapa segmen flashback nan diaplikasikan dalam plot dengan kurang tepat. Dimana terkadang menurunkan tensi nan telah dibangun dalam segmen krusial. Sebagai movie animasi berjudul “Unicorn Wars”, movie ini lebih cocok disebut sebagai ‘teddy bear wars’, lantaran perspektif pandangnya lebih didominasi oleh kaum teddy bear daripada unicorn.

Namun bisa dipahami, ‘unicorn wars’ terdengar lebih komersial dan catchy. Tak hanya lantaran naskah lebih bias ke teddy bear, latar belakang dari bangsa unicorn dalam naskah tidak disajikan dengann adil. Karena latar belakang tentang unicorn mengusir beruang dari Magic Forest berasas kitab suci teddy bear. Kita tidak tahu jelas kebenaran dari perspektif pandang unicorn. Dengan begitu, muncul teori dan dugaan bisa saja ada kesalahpahaman nan terjadi. Karena kebanyakan perang dimulai lantaran kasus demikian.

Secara keseluruhan, “Unicorn Wars” tetap menjadi movie animasi dewasa nan menarik untuk ditonton. Berhasil dinobatkan sebagai Best Animated Film di 37th Goya Awards, “Unicorn Wars” sekarang sudah bisa di-streaming di KlikFilm.