White Saviour Syndrome Dalam Film Hollywood

Sedang Trending 1 tahun yang lalu

Sebagian fans movie di Indonesia lahir dan besar di tengah ‘gempuran’ movie Hollywood. Sekarang, kita punya pilihan lebih banyak. Misalnya, ada “Money Heist” nan dibuat Spanyol dan “Squid Game” nan diproduksi Korea meski kabarnya India adalah negara nan lebih dulu membuatnya dan Korea hanya terinspirasi.

Bagaimanapun, secara keseluruhan movie Hollywood tetap tetap berjaya. Oleh lantaran itulah menarik untuk mengulik apa nan ada di kembali adegan-adegan nan mereka sajikan. Lihat saja hal-hal ‘kecil’ seperti pohon Natal nan pasti berukuran besar di rumah-rumah Amerika alias New York nan nyaris selalu menjadi sasaran aliens atau mahkluk angkasa luar nan mau menghancurkan bumi.

Hal ‘kecil’ ini bisa bicara banyak. Pohon Natal berukuran besar mungkin adalah representasi dari terwujudnya American Dream dan tertariknya aliens hanya kepada Amerika bisa saja adalah gambaran dari arogansi Amerika sebagai negara adidaya. Film membentuk pemahaman kita mengenai realita. Jadi, menarik untuk mengulik apa nan ada di kembali adegan-adegan nan kita tonton.

Lihatlah Dangerous Minds (1995), movie ini menyodorkan pembimbing kulit putih sebagai penolong para murid. Miss Johnson, diperankan Michelle Pfeiffer adalah  ahli selamat bagi murid-muridnya. Semua siswa berasal dari family miskin dan kebanyakan berkulit hitam serta Hispanik.

“Dangerous Minds” adalah tipikal movie Hollywood nan mengambil tema pendidikan. Murid didominasi orang kulit hitam serta Hispanik. Mereka miskin dan diajar oleh guru-guru kaku nan hanya peduli kurikulum. Lalu, datanglah pembimbing kulit putih nan awalnya dimusuhi tapi lantaran mempunyai langkah mengajar non-tradisional dan giat menjalin hubungan pribadi dengan murid, dia akhirnya diterima apalagi dicintai murid.  Guru ini melakukan perubahan besar dalam diri siswa tanpa support siapa-siapa dengan langkah mendobrak sistem nan sudah bertindak puluhan tahun.

Dangerous Mind

Dangerous Minds (1995)

White Supremacy, alias emosi superior sebagai orang Amerika berkulit putih juga bisa kita saksikan dalam Hidden Figures (2016). Film ini diangkat dari kisah nyata dengan latar tahun 1960. Isinya bercerita mengenai tiga wanita Afro American ketika bekerja di The National Aeronautics and Space Administration (NASA). Kamar mini di gedung tempat mereka bekerja hanya bisa digunakan kaum kulit putih. Salah satu dari mereka, Katherine, kudu lari sejauh 800an meter ke gedung lain tiap kali butuh menggunakan bilik kecil.

Atasan Katherine, Al Harrison (diperankan oleh Kevin Costner), dalam sebuah segmen heroik menghancurkan plang berbau diskriminatif nan ada di depan bilik kecil. Dengan demikian,  semua  bilik mini bisa digunakan oleh semua ras.  Harrison juga mengizinkan Katherine menyaksikan peluncuran pesawat ulang-alik secara langsung.

Sejarawan Richard T. Hughes mengatakan bahwa orang Amerika, entah dengan sadar alias tidak, selalu saja menganut mitos White Supremacy. Mereka percaya kaum kulit putih lebih unggul dibandingkan ras lain. Dari mitos ini lahirlah White Saviour Syndrome. Orang kulit putih menganggap bahwa diri mereka adalah penolong bagi BIPOC ialah Black, Indigenous and People of Color. Industri movie Hollywood mempunyai motto ‘Apapun masalahnya, orang kulit putih jalan keluarnya.’

Pada kenyataannya, Katherine saat bekerja di NASA leluasa menggunakan bilik kecil. Ia juga tak pernah diundang untuk menyaksikan peluncuran. Penulis skenario movie ini, Theodore Melfi, lalu  berkomentar, “Perlu ada seseorang, apapun ras-nya, untuk  melakukan perihal nan benar”. Pria berkulit putih ini lampau melanjutkan,” Jadi, siapa nan peduli tentang siapa nan melakukan perihal nan betul selama perihal nan betul itu betul-betul ada nan melakukan?”

Kaum  kulit hitam diselamatkan dari rasisme oleh orang kulit putih adalah sesuatu nan terlihat natural dalam film-film Hollywood. Tak ada wacana untuk memberdayakan orang kulit hitam agar bisa memperjuangkan nasib golongan mereka dari dalam diri sendiri alias kelompok.

Dalam “Black Panther”, memang orang kulit hitam bisa menyelamatkan negara namun dia bisa melakukannya lantaran dia raja. Dalam Bruce Almighty (2003), Jim Carrey bertekuk dengkul di depan Morgan Freeman nan berkulit hitam tapi di situ Freeman berkedudukan sebagai Tuhan. Dalam statusnya sebagai personil masyarakat biasa, mereka ditetapkan Hollywood sebagai kaum nan tak bisa menyelamatkan dirinya sendiri. Untuk melakukan perihal besar, orang kulit hitam biasanya kudu punya kedudukan dan kekuasaan.

Half Nelson

Half Nelson

Sindrom inilah nan membikin movie Half Nelson (2006) sempat membikin sebagian penontonnya merasa tak nyaman. Di sini seorang pembimbing laki-laki kulit putih ialah Dan (diperankan Ryan Gosling) digambarkan mengalami kecanduan kokain. Ia berkawan dengan muridnya nan berkulit hitam ialah Drey (Shareeka Epps). Di ujung film, Dan dipecat kepala sekolah namun dihibur oleh Drey.

Melalui movie ini Anna Boden, wanita kulit putih nan menyutradai “Half Nelson”, menabrak pola movie pendidikan Hollywood. Orang kulit putih dia gambarkan sebagai sosok nan butuh support orang kulit hitam. Ini tentu tak umum apalagi pihak nan memerlukan adalah pembimbing berkulit putih dan  pihak nan dibutuhkan adalah siswa kulit hitam.

Tentu saja tak semua movie Hollywood mengandung White Saviour Syndrome. Bagaimanapun, ulasan ini kiranya bisa membikin kita semakin jeli saat menonton karena, sungguh, movie punya kekuatan untuk membentuk pemahaman kita mengenai realita.